[PORTAL-ISLAM.ID] Tim Pencari Fakta (TPF) gabungan Aremania membeberkan hasil pengumpulan data dan fakta Tragedi Kanjuruhan selama 10 hari.
Mereka menyimpulkan, kejadian pada Sabtu (1/10/2022) itu bukanlah kerusuhan, tapi pembunuhan massal.
"Kita mengambil kesimpulan ini bukan kerusuhan tapi ini pembunuhan. Tapi ini bukan pembunuhan individual, ini pembunuhan massal," ujar Sekjen Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andy Irfan, Sabtu (15/10/2022).
Ia menyampaikan, sebelum pertandingan Arema FC melawan Persebaya, Aremania bersama panpel, manajemen Arema FC hingga kepolisian telah melakukan beberapa kali koordinasi. Dari pertemuan itu disepakati 4 poin.
Empat poin tersebut yakni komitmen Aremania tidak sweeping kendaraan plat L, tidak menghadirkan suporter Persebaya, tidak ada represi atau kekerasan kepada suporter Aremania dari pihak aparat keamanan, dan tidak ada penggunaan gas air mata oleh aparat keamanan.
Namun, fakta dan hasil penelusuran yang dilakukan TPF menyimpulkan, dalam Tragedi Kanjuruhan terdapat tindakan kekerasan berlebihan yang secara sengaja dilakukan personel Polri dan TNI, secara terstruktur dan sistematis sesuai rantai komando.
"Skema itu ada struktur komando, kami meyakini sekurang-kurangnya perwira yang memimpin personel Brimob tidak melakukan pencegahan, ada kemungkinan besar memberikan perintah untuk menembakkan gas air mata," kata Andy.
Selain itu, adanya tembakan gas air mata yang dilakukan petugas keamanan menjadi penyebab kepanikan penonton yang saat itu berada di tribun Stadion Kanjuruhan. Hingga pada akhirnya membuat 132 orang meninggal dunia dan ratusan orang luka-luka.
"Kami meyakini sampai saat ini gas air mata menjadi penyebab kematian ratusan orang. Selain bahwa juga karena berhimpitan, berdesakan sesama penonton dan beragam bentuk kekerasan yang lain," terang Andy.
"Ada dua jenis gas air mata yang ditembakkan Brimob dan Sabhara. Karena itu kita meyakini bahwa tindakan ini adalah kejahatan kemanusiaan," sambungnya.
(Sumber: Detik)