Orang sering bilang: “Sekarang zaman modern, semua serba canggih. Manusia pasti makin adil, makin beradab.”
Logikanya, kalau teknologi makin maju, gedung pengadilan makin megah, sistem hukum makin tertata maka keadilan pun semakin dekat ke rakyat jelata.
Tapi kenyataannya? Justru sebaliknya.
Lihat saja proses di pengadilan hari ini.
Gedung besar, AC dingin, kursi empuk. Tapi urus perkara?
Ribet. Mahal, Makan waktu.
Tidak seringkan kena masalah yang sebenarnya kita bisa bawakan keranah pidana atau perdata, tapi akhirnya kita harus mengelus data. “Toh nanti ribet juga,” “toh nanti mahal juga”.
Terlepas dari memang mahalnya dan ribetnya prosedur pengadilan kita “Yang Semakin Modern” ini. Saya cuman mau bicara soal waktu. Ya waktu.
Kita ambil kasus perkara cerai tuh:
• Sidang pertama: cuma cek identitas.
• Sidang kedua: bacain gugatan.
• Sidang ketiga: jawaban tergugat.
• Sidang keempat: replik.
• Sidang kelima: duplik.
• Sidang keenam dan seterusnya: bukti, kesimpulan, baru putusan.
Itu baru pengadilan tingkat pertama.
Anggaplah kita tidak banding, tidak kasasi, cukup dipengadilan tingkat pertama.
Bayangkan kamu tinggal satu jam dari kota.
Berarti pulang-pergi butuh 2 jam.
Hanya untuk dengar hakim nyebut nama kamu dan ngecek KTP.
Besok balik lagi, cuma buat dengar gugatan dibacakan.
Artinya selama dua pertemuan, kamu diperjalanan saja menghabiskan waktu empat jam, kamu cuman dicek identitasnya dan baca gugatan. Itupun ngantri seharian disana.
Seriusan itu.
Di atas kertas, diteori teori kuliah asas pengadilan kita itu “murah, cepat, dan sederhana.”
Tapi di lapangan? Lambat, berbelit, dan mahal.
Belum lagi yang saya masih bingung hari ini, penetapan biaya panjar perkara, semakin jauh dari wilayah pengadilan maka semakin mahal.
Padahal semakin jauh dari kota, ekonomi masyarakatnya semakin rendah. Tapi biayanya semakin mahal.
Bagi teman teman yang bisa jawab alasannya tolong dishare ya, kok bisa gitu.
Sekarang bandingkan dengan zaman Khilafah Rasyidah.
Di sana, rakyat tinggal datang ke masjid kota, qadhi bahkan langsung ke Umar bin Khattab.
Gak ada birokrasi berlapis, gak ada antrean panjang.
Gak perlu pakai toga, rakyat juga gak perlu sungkan-sungkan datang.
Bahkan beberapa kali sahabat itu mau ngadu perkara, dia datang kemasjid Nabawi, lihat Umar waktu jam Istirahat dibawah alas dedaunan. Dibangunin lah beliau dalam kondisi capek.
Anda juga bisa menemui Khalifah pas lagi nugas dijalan atau keliling keliling tiap hari, disana kalian bisa ngadu lalu nentuin waktunya kapan.
Kalau ada bukti, langsung diproses.
Kalau belum siap, boleh balik besok.
Semua serba manusiawi dan sederhana.
Bahkan Umar sempat mengundurkan diri sebagai qadhi di masa Abu Bakar.
Bukan karena skandal kena operasi tangkap tangan karena korupsi.
Tapi karena gak ada perkara.
Nol, jadi nganggur doang kerjanya.
Gak ada yang kriminal.
Manusia saat itu dengan iman, bukan sekadar aturan.
Itulah masa masa paling ideal, manusia saling memaafkan bahkan belum sampai kepengadilan.
Itulah puncak peradaban.
Sekarang saja, saya pernah magang dipengadilan agama, saya bantu panitera. Itu ada 4 ruang sidang, setiap ruang sidang, ada 35-45 perkara dalam sehari.
Kalikan 4 saja, itupun setiap hari.
Bayangkan, itu orang bermasalah semua.
Dan yang kita butuhkan sebenarnya bukan ruang sidang yang mewah.
Tapi hakim yang amanah.
Jadi kalau hari ini pengadilan tampak megah, sistemnya rapi, dan prosesnya panjang…
Jangan buru-buru bangga.
Karena yang rakyat butuhkan bukan gedung tinggi atau toga yang mengilap.
Tapi keadilan yang bisa diakses tanpa harus mengorbankan waktu, tenaga, dan harapan.
Di zaman Khilafah, keadilan itu hadir di bawah pohon kurma.
Sekarang, bahkan di balik tembok marmer pun rakyat harus menggugat nasibnya sendirian.
(Ngopidiyyah)