Tunjuk saja: Siapa saja LSM antek asing itu

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Bahasa terang saja: siapa saja LSM atau pers antek asing itu, dan apa buktinya mereka merugikan negara—entah itu mengadu domba, menjelek-jelekkan Indonesia, atau mencemooh pencapaian nasional?

Apakah yang dimaksud adalah LBH/YLBHI? Walhi? KontraS? ICW? WWF? Greenpeace...? Siapa...? Tempo?

Narasi antek asing adalah cerita jadul yang tidak hanya dipakai oleh Presiden Prabowo—yang menurut Tempo kerap melontarkannya sejak 2014. Jokowi juga menggunakan sentimen itu, seperti tercermin dalam artikelnya di Kompas tanggal 10 Mei 2014, berjudul "Revolusi Mental".

Dalam artikel yang diakui sendiri ditulis oleh timnya (namun poin-poinnya dibuat olehnya), Jokowi menyebut bahwa Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri (baca: asing).

Kata bapaknya Wapres Gibran itu, kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga bergantung pada modal asing, sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para komprador Indonesianya.

Tak pernah jelas apa maksudnya komprador asing dan siapa subjek yang dimaksud. Yang jelas, se-Indonesia mungkin sudah tahu bahwa jet pribadi yang ditumpangi anak bungsu dan menantunya adalah milik perusahaan asing, berteknologi asing, dan diduga kuat digunakan sebagai instrumen korporasi asing untuk melobi pemerintah demi kepentingan bisnisnya....

Mungkin karena lobi itu lewat jalur anak presiden sendiri, maka tidaklah asing jika dugaan kuat praktik perdagangan pengaruh yang mengarah pada kemungkinan KKN itu tidak diusut sebagai perkara hukum lebih lanjut.

Privilege orang dalam (ordal) adalah sesuatu yang tidak asing di republik ini, bukan?
Namun, harus diakui, kadar penggunaan narasi antek asing lebih banyak dilakukan oleh Presiden Prabowo. Saya lihat ada kombinasi berbagai faktor yang menyebabkan hal itu. Salah satunya adalah faktor psikopolitik, semacam trauma masa lalu, di mana ia kerap menceritakan pengalaman buruk ketika dilarang masuk sebuah kolam renang bekas Belanda di Manggarai, Jakarta, pada tahun 1970-an, yang saat itu dipasangi pengumuman pribumi dilarang masuk.

Memori itu—yang bercampur baur dengan ambisi politiknya untuk meraih pucuk kekuasaan—menjadikan narasi antek asing terinternalisasi dalam dirinya. Alhasil, narasi itu menjadi semacam alat politik serbaguna bagi dirinya untuk mencapai tujuan: memobilisasi emosi massa, menegaskan identitas nasionalis, serta meningkatkan posisi tawar di hadapan elite dan pelaku bisnis—tanpa harus benar-benar mempraktikkan sikap antiasing secara total.

Artinya, narasi antiasing bukanlah perwujudan ideologi murni penuturnya, tetapi strategi realistis dalam arena kekuasaan elektoral—yang dihuni masyarakat yang (mohon maaf) masih butuh pencerdasan lebih lanjut (untuk tidak mengatakan: mudah diombang-ambingkan ilusi nasionalisme).

Ilusi nasionalisme adalah ketika simbol, jargon, dan klaim cinta tanah air dipakai sebagai kain untuk menyelubungkan kepentingan jahat elite politik atau oligarki bisnis tertentu yang sejatinya bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak.

Fokuslah pada apa perbuatannya, bukan hanya pada retorika atau siaran persnya. Berkata cinta tanah air, tetapi di belakang layar berbisik-bisik dengan vendor alutsista asing untuk pengadaan proyek berbiaya APBN, adalah salah satu contoh perbuatan komprador asing yang menggadaikan negara.

Perusahaan aplikasi yang jelas-jelas dikendalikan oleh entitas asing, tapi dikucuri Rp6,4 triliun oleh BUMN dengan dalih karya anak bangsa, yang kemudian hari justru bermasalah karena didemo mitranya sendiri akibat potongan biaya aplikasi yang mencekik—rasanya bisa juga dikategorikan sebagai wujud perbuatan antek asing.

Perusahaan yang sahamnya mayoritas dimiliki entitas asing, lalu mendapat kredit triliunan dari bank-bank Himbara, kemudian mendirikan banyak 'sekutu' di luar negeri untuk melakukan segala macam patgulipat agar tak bayar pajak nasional—itu pun komprador asing juga.

Jika ada pejabat lembaga negara/pemerintah teriak-teriak anti dana asing, tetapi diam-diam menikmati cipratan korupsi dari dana hibah asing itu sendiri—itulah perbuatan terkutuk kuadrat: kombinasi mental munafik, korup, dan pengkhianat bangsa.

Maka, kalau bisa ditunjukkan perbuatan-perbuatan LSM yang sebusuk atau sekorup contoh-contoh yang saya sebut di atas (atau mungkin lebih busuk lagi), dengan senang hati saya akan ikut mencaci maki LSM-LSM itu berikut donor-donornya.

Salam,

AEK.

Baca juga :