DAKWAH KOPLO

Coba datang ke pesantren besar di Jawa Timur. Kitab Ihya Ulumuddin yang dibaca. Imam Ghazali yang dijunjung. Tapi setelah khatam? Bukan muhasabah, bukan tangis taubat, bukan majelis dzikir. Justru konser.

Katanya untuk menarik orang awam. Katanya dakwah harus adaptif sesuai dengan zaman. Tapi mari kita tanya:

Berapa banyak yang tobat karena konser?
Ada statistiknya?
Berapa yang meninggalkan maksiat setelah ikut konser sholawat atau religi itu?

Justru yang sering terjadi, aurat terbuka, laki-perempuan campur, bahkan ada yang mabuk di luar area. Ini fakta.

Dan justru sebaliknya “sudah berapa orang yang polos dan bertaqwa sekarang berubah menjadi akrab dan menormalisasi musik karena difasilitasi media haram?”

Lalu datang pembelaan klasik:

“Kan cuma setahun sekali. Santri ngaji setiap hari.”

Lho? Apakah dosa jadi halal kalau jarang-jarang? Kalau begitu logikanya zina pun bisa dibolehkan asal sebulan sekali? Ini bukan dalil, ini syubhat murahan.

Dan yang lebih gawat:
la terus gimana jariyah dosanya?
Orang awam lihat pondok besar begitu, lalu mereka meniru. Pengajian kampung akhirnya semua diisi musik. Majelis dzikir berubah jadi festival.

“Kami niru gus dan pondok besar kok.”

Siapa yang tanggung jawab?
Yang bikin budaya ini menjamur, yang bikin umat makin lalai tapi tetap merasa “religius”, padahal makin jauh dari esensi agama.
Celakanya lagi, ceramah-ceramah mereka justru bikin pelaku maksiat makin nyaman dengan maksiatnya.
Tak ada sindiran, tak ada peringatan, apalagi penegasan.
Semua dibungkus “bahasa cinta”, seolah Islam tak lagi mengenal murka Allah.
Mereka hanya ingin ramai, ingin viral, ingin audiens betah meski harga yang dibayar adalah lenyapnya ghirah terhadap kebenaran.

Sementara itu…

Ada kelompok dakwah yang memilih serius.
Membahas bisnis, filsafat, ideologi barat, trend anak muda lewat perspektif Islam.

Mereka cuma ngaji, bicara tentang syariat, mengingatkan tentang neraka, memperjuangkan Islam secara kaffah.
Mereka dakwah sesuai zamannya, pakai kamera resolusi HD, penampilan hanya make kaos, tapi tidak mengurangi isi materi dakwah yang disampaikan.

Tapi apa balasannya?
Dituduh radikal, pengajiannya dibubarkan, karakternya dibunuh, dicap intoleran bahkan disebut nganggu kerukunan.

Sudahlah kawan, jika tidak bisa berdakwah mending minggir saja. Dakwah itu berat kamu gak akan kuat. Kita butuh orang orang yang “mencerdaskan taraf berfikir umat”.

Saya yakin, sebagian dari mereka yang nyinyir itu sebenarnya iri.
Iri karena belum siap ditanya dimajelisnya.🙂

(Ngopidiyyah)

***

Ruh Dakwah Walisongo

Dakwah ala "dai podcast" semacam Felix Siauw, dll., jauh lebih baik dan lebih selaras dengan ruh dakwah walisongo, dibandingkan yang ngaku-ngaku mengikuti dakwah bertahap walisongo tapi kerjaannya bikin konser dangdut koplo di ponpes, senang pengunjung klub malam tambah ramai karena ceramahnya, dan semisalnya.

Para "dai podcast" ini mungkin ada kekeliruan, dan silakan untuk diluruskan oleh yang alim. Tapi kebaikan mereka tak boleh dilupakan. Tambah lagi, begitulah dakwah sebenarnya, mendatangi pihak yang didakwahi, berbaur dengan orang-orang yang masih lemah imannya tapi tidak nyebur dalam kemungkaran bersama mereka, malah mengajak mereka keluar dari lumpur kemaksiatan. Inilah ruh dakwah walisongo sebenarnya.

Bukan malah mendatangkan maksiat ke tempat mulia, kawah candradimuka tempat melahirkan para dai yang alim, seperti pondok pesantren. Atau malah berbangga kemaksiatan semakin subur, dan menganggapnya sebagai keberkahan ceramahnya di klub malam. Berkah apa yang didatangkan dari bertambah suburnya kemaksiatan?

(Muhammad Abduh Negara)

Baca juga :