Lima Poin Penting atas Penetapan Mahasiswi ITB sebagai Tersangka oleh Bareskrim Polri

Lima Poin Penting atas Penetapan SSS (Mahasiswi ITB) sebagai Tersangka oleh Bareskrim Polri

Poin pertama, jika dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh SSS dianggap benar-benar telah melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE, maka perlu diperhatikan bahwa di platform X terdapat banyak konten lain yang secara visual jauh lebih eksplisit. Gambar yang dipersoalkan dalam kasus ini bahkan merupakan hasil rekayasa kecerdasan buatan (AI-fabricated picture), yang dari segi tampilan cenderung tidak menyerupai gambar nyata. Selain itu, frasa “melanggar kesusilaan” sendiri masih bersifat multitafsir dan beririsan dengan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Poin kedua, penyidik tampaknya berhati-hati dalam memilih pasal yang digunakan. Apabila menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik dalam bentuk gambar, maka kasus ini tidak dapat diproses karena termasuk delik aduan, sementara tidak ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, penyidik memilih menggunakan Pasal 27 ayat (1), yang merupakan delik umum sehingga dapat diproses tanpa laporan dari korban.
Poin ketiga, apabila SSS dituduh menciptakan dan memanipulasi dokumen elektronik melalui kecerdasan buatan (AI) hingga menimbulkan kesan seolah-olah gambar tersebut otentik, maka asumsi tersebut perlu diuji kembali. Gambar tersebut secara visual cukup mudah dikenali sebagai hasil rekayasa, dan khalayak umum umumnya sudah cukup akrab dengan ciri khas gambar berbasis AI.

Poin keempat, hingga saat ini belum terdapat regulasi khusus yang secara eksplisit mengatur penciptaan dan manipulasi dokumen elektronik melalui kecerdasan buatan. UU ITE disahkan pada 2008, jauh sebelum teknologi AI berkembang seperti sekarang. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan hukum (legal vacuum) yang patut dipertimbangkan. Penerapan pasal dalam kondisi tersebut berpotensi bertentangan dengan asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali—tidak ada perbuatan pidana tanpa aturan pidana sebelumnya.

Poin kelima, pihak Istana (melalui juru bicara) telah menyatakan bahwa pendekatan pembinaan lebih disarankan ketimbang pendekatan represif melalui penegakan hukum. Apalagi, salah satu figur yang disebut mirip dalam gambar juga tidak mengajukan laporan. Mantan presiden Joko Widodo pun tidak membuat laporan terkait gambar dimaksud. Oleh karena itu, urgensi penetapan tersangka dan penahanan terhadap SSS patut dipertanyakan, terutama dari segi proporsionalitas dan kebutuhan hukum.

Advokat Bandung, 11 Mei 2025

(Sumber: X)
Baca juga :