Mungkinkah PKS Tak Mengusung Anies?
Oleh: Yarifai Mappeaty - Pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Makassar
PERTANYAAN di atas diam-diam merambat di benak publik, lantaran sejauh ini PKS belum juga melakukan deklarasi mengusung Anies Baswedan. Padahal, PKS dikenal sebagai partai pengusung dan pendukung utama Anies di Pilkada DKI 2017. Secara kasat mata, publik tak melihat ada halangan bagi PKS untuk melakukan itu.
Logikanya, sebagai partai oposisi, mestinya PKS menjadi partai pertama mendeklarasikan Anies. Faktanya tidak. Justeru Partai Nasdem yang notabene partai pendukung rezim, loncat duluan merebut momentum itu.
Publik lantas mengira bahwa PKS sengaja mengulur waktu, dan memang enggan menjadi yang pertama. PKS tak mau menjadi bahan olok-olok dan bully-an para buzzerRp, “Partai kadrun mengusung kadrun.” Jika itu benar, maka sikap PKS yang demikian dapat dimaklumi.
Bahkan hingga dua pekan berlalu pasca Partai Nasdem mendeklarasikan Anies, publik masih tetap haqqul yakin kalau PKS akan tetap mengusung Anies. Apalagi setelah PKS menolak tawaran dua pos menteri dari rezim, asal mau meninggalkan Anies, makin mempertebal keyakinan itu.
Tetapi tak lama kemudian, suasana kebatinan pendukung Anies, kaget, ketika PKS tiba-tiba menyodorkan Ahmad Heryawan (Aher), mantan Gubernur Jabar, sebagai calon pendamping Anies.
Memang, masalahnya apa?
Aher sudah tak sepopuler dulu, seperti pada lima atau sepuluh tahun lalu. Ia telah hilang dari percakapan publik. Hemat penulis, ada benarnya. Sebab jangankan publik awam, penulis saja yang relatif melek infomasi, baru tahu kalau Aher saat ini adalah Wakil Ketua Dewan Syuro PKS.
Seingat penulis, dalam satu atau dua tahun terakhir, Aher tidak pernah disebut-sebut oleh Lembaga survei manapun. Kalau keterkenalannya saja sudah redup, bagaimana bisa punya elektabilitas memadai sehingga layak dipertimbangkan untuk menjadi calon pendamping Anies?
Aher memang cukup kuat di Jabar, anggap saja begitu. Tetapi bagaimana di provinsi lain, Jatim, misalnya? Diyakini Aher sulit terjual di sana. Dan, perlu diingat bahwa sudah dua kali Pilpres, 2014 dan 2019, Jatim selalu menjadi penentu kemenangan.
Padahal, kalau berpikirnya menang, mestinya Anies dicarikan sosok pendamping yang memiliki hubungan sosio-kultural dengan Jawa Timur. Toh, di Jabar, elektabilitas Anies sudah tak kalah dari kedua pesaingnya.
Sosok potensial yang tepat untuk itu, mau tak mau, kita mesti menyebut Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Bersama Partai Demokrat dan juga faktor SBY tentunya, AHY memiliki basis relatif kuat di wilayah Mataraman yang meliputi Nganjuk, Ngawi, Blitar, Magetan, Pacitan, Kediri, Ponorogo, Madiun, dan Trengalek.
Tak kalah penting, AHY dari sisi elektabilitas, nyaris semua Lembaga survei menempatkannya di urutan keempat. Bahkan dalam berbagai survei simulasi pasangan Capres - Cawapres, elektabilitas Anies - AHY tertinggi. Bahwa AHY adalah Ketum Partai Demokrat, kesampingkan dulu. Kalau mau menang, jangan bersikap partisan, tetapi tetap persisten pada kerangka koalisi.
Demikian pula para pengamat, nyaris semua menilai duet Anies – AHY jauh lebih punya daya jual ketimbang Anies – Aher. Apakah PKS tidak menyadarinya? Mustahil. Inilah yang membuat publik belakangan ini ragu pada sikap PKS tatkala menyodorkan Aher. Bahkan timbul spekulasi kalau Aher akan dijadikan alasan bagi PKS untuk meninggalkan Anies.
Mengapa PKS bersikap begitu? Ada yang melontar bahwa PKS pada dasarnya tak benar-benar berdaulat, tetapi telah dikontrol oleh pemilik modal besar. PKS boleh saja istiqomah dari godaan rezim, tetapi bagaimana kalau pemilik modal itu main mata dengan rezim? Inilah yang menghantui para diehard Anies.
Terhadap semua spekulasi itu, penulis sendiri tak mau percaya, terlalu liar. Lagi pula wajar saja kalau PKS menyodorkan kadernya, sepanjang itu bukan “pokoknya”. Dan, jangan lupa pada sikap PKS yang telah membuktikan istiqomahnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Mendeklarasikan Anies bagi PKS, hanya soal waktu.
03/11/2022
(Sumber: FNN)