Menjernihkan Masalah Salam dan Doa Lintas Agama

Menjernihkan Masalah Salam dan Doa Lintas Agama

Oleh: Dr. Adian Husaini 
(Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)

Suatu ketika seorang mahasiswa bertanya, apakah salam dan doa lintas agama termasuk bagian dari paham Pluralisme Agama. Paham ini (Pluralisme Agama) sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tahun 2005. 

Saya menjawab, bahwa Pluralisme Agama adalah masalah pemikiran dan keimanan. Yakni, cara pandang seseorang terhadap agama-agama lain. Sedangkan doa dan salam adalah aspek perbuatan yang tercakup dalam ruang lingkup syariat. Tetapi, jika amalan itu menjadi pemahaman dan keyakinannya, maka hal itu terkait pula dengan masalah aqidah.

Alister E. Mcgrath, dalam bukunya, Christian Theology: An Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994), menulis bahwa: “In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God” (Dalam pluralisme, tidak ada agama yang lebih unggul dibandingkan agama lain; setiap agama sama-sama merupakan jalan yang sah menuju kebenaran dan Tuhan).

​Jadi, dalam Pluralisme Agama, semua agama dipandang sama saja. Semuanya dianggap sebagai jalan yang benar dan sah menuju Tuhan. Karena itu, dalam pandangan kaum Pluralis Agama, tidak ada perbedaan antara iman dan kufur, antara tauhid dengan syirik; tidak ada perbedaan antara shirathal mustaqim (jalan yang lurus/jalan Islam) dengan shirathal maghdhub (jalan orang-orang yang dimurkai Allah) dan shirath al-dhaalliin (jalan orang-orang sesat). 

​Dalam perspektif aqidah Islam, menyamakan antara iman dan kufur adalah hal yang sangat bathil. Iman menjadi syarat diterimanya amal. Sebanyak apa pun amal orang kafir, tidak akan diterima oleh Allah SWT. Amalan orang kafir itu laksana fatamorgana, tidak ada nilainya. (QS An-Nur : 39). 

​Karena itu, seorang muslim tidak akan menyepelekan atau menganggap remeh urusan aqidah. Kewajiban seorang muslim yang pertama dan utama adalah terus menguatkan iman dan menjaga imannya agar tidak rusak, karena tercemar paham kemusyrikan. 

Sejak kecil, anak-anak muslim di kampung atau di pesantren, biasanya mengaji kitab Sulllamut Taufiq, yang menyebutkan: “yajibu ‘ala kulli muslimin hifdzu Islamihi…” (wajib setiap muslim menjaga agamanya). 

​Dalam kitab itu disebutkan, bahwa hal yang bisa merusak atau membatalkan iman seseorang disebut “riddah”. Manusianya disebut orang “murtad”. Ada tiga bentuk riddah, yaitu riddah dengan i’tiqad, dengan lisan, dan dengan perbuatan. Kaum musyrik Arab mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Tetapi, mereka juga mengakui Tuhan-tuhan lain dalam wujud berhala. Karena itu, mereka disebut musyrik. Dan dosa syirik adalah dosa terbesar dan tidak diampuni. (Lihat QS an-Nisa: 48).

*****

​Karena begitu pentingnya aspek keselamatan iman, maka para ulama dan organisasi Islam juga merumuskan panduan dalam hal-hal yang terkait dengan aktivitas antar pemeluk agama. Misalnya, fatwa MUI tahun 1981 yang mengharamkan umat Islam untuk menghadiri Perayaan Natal Bersama. 

​Dalam soal “salam lintas agama”, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menghimbau umat Islam dan para pejabat untuk tidak mengucapkan salam pembuka agama lain dalam forum resmi. Kebiasaan itu dianggap perbuatan bid’ah yang dapat merusak kemurnian agama Islam. Imbauan itu diteken Ketua MUI Jatim, KH. Abdusshomad Buchori. 

Salah satunya menyerukan umat Islam dan para pejabat muslim cukup mengucapkan salam pembuka khas dalam Islam yakni kalimat “Assalaamu’alaikum warahmatullahi wa-barakatuh“, tanpa mengucapkan salam pembuka dalam agama lain yakni Syaloom, Om swasti astu, Namo buddaya yang lazim diucapkan diawal sambutan.

“Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, “Assalaamu’alaikum. Wr. Wb.” “Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.” Demikian bunyi imbauan tersebut. (https://www.tempo.co/abc/4945/pejabat-muslim-indonesia-dihimbau-tidak-ucapkan-salam-lintas-agama).

​Tentang doa bersama lintas agama, MUI juga sudah mengeluarkan fatwa tentang hukum Doa Bersama antar Agama, dalam fatwa MUI Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005 Tentang “DOA BERSAMA”.  Bentuk-bentuk Do’a Bersama yang diharamkan MUI adalah: 

(a)  Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran. Dalam bentuk ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim. Mengapa haram mengamini doa non-muslim? Karena, sebagaimana telah dijelaskan, “mengamini” sama dengan berdoa; dan ketika yang berdoa adalah non-muslim, maka orang Islam yang mengamini tersebut berarti ia berdoa kepada tuhan yang kepadanya non-muslim berdoa. Padahal konsep dan aqidah mereka tentang tuhan, menurut al-Qur’an, berbeda dengan aqidah orang Islam (lihat antara lain QS. al-Ma’idah [5]: 73). 

Dengan demikian, orang Islam yang mengamini doa yang dipanjatkan oleh non-muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik. Tetapi, orang Islam yang karena alasan tertentu harus mengikuti doa bersama, maka ketika non-muslim memanjatkan doa, ia wajib diam dalam arti haram mengamininya. 

(b) Bentuk lain Doa Bersama adalah: Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak (misalnya mereka membaca teks doa bersama-sama).  Doa Bersama dalam bentuk ini hukumnya HARAM. Artinya, orang Islam tidak boleh melakukannya. Sebab doa seperti itu dipandang telah mencampuradukkan antara ibadah (dalam hal doa) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang bathil (batal); dan hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain QS. al-Baqarah [2]: 42). 

Doa Bersama dalam bentuk kedua ini pun sangat berpotensi mengancam aqidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat, mereka akan menisbikan status doa yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah, serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa aqidah ketuhanan non-muslim sama dengan aqidah ketuhanan orang Islam. Di sini berlakulah kaidah; “sadd al-zari’ah” dan “daf’u al-dharar”. 

(c) Bentuk lain,  seorang non-Islam memimpin doa. Dalam Doa Bersama bentuk ketiga ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya; dengan alasan sebagaimana pada bentuk pertama. 

​Adapun bentuk-bentuk Doa Bersama yang MUBAH (Dibolehkan): (1) Seorang tokoh Islam memimpin doa. (2) Setiap orang berdoa menurut agama masing-masing. (Fatwa MUI secara lengkap, lihat: http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/27.-Doa-Bersama.pdf).

Masalah doa lintas agama juga ada Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Waqi’iyyahMuktamar XXX  NU di Pondok Pesantren  Lirboyo Kediri, 21-27 Nop. 1999, tentang  “Doa Bersama Antar Umat Beragama”. Hasilnya, doa Bersama antar berbagai umat beragama, hukumnya tidak boleh. ​(Lihat: buku Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), penerbit: Lajtah Ta’lif wan-Nasyr, NU Jatim, cet.ke-3, 2007, hal. 532-534). 

*****

​Bagaimana dengan salam lintas agama? Bagi umat Islam, salam merupakan ibadah. Redaksi salam pun sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Karena itu, umat Islam sepanjang sejarah, tidak pernah mengganti salam Islam (Assalaamu’alaikum warahmatullahi wa-barakatuh). Sebab, Islam memiliki uswah hasanah (suri teladan yang baik), yaitu Nabi Muhammad saw. 

​Jadi, dalam pandangan Islam, redaksi salam bersumber dari wahyu. Bukan produk budaya manusia. Dimana saja dan kapan saja, umat Islam menyampaikan salam dengan redaksi yang sama. Dengan kata lain, salam Islam bersifat lintas zaman dan lintas budaya. Islam adalah “agama wahyu” (revealed religion). Islam bukan “agama budaya” (cultural religion) yang ajaran-ajarannya bisa berubah-ubah mengikuti budaya. 

​Jadi, dalam soal ibadah – seperti doa dan salam – dan berbagai masalah lain, tugas dan kewajiban ulama adalah menyampaikan kebenaran. Fatwa itu tidak memaksa. Selanjutnya terserah kepada para pejabat dan masyarakat, apakah bersedia mengikuti fatwa para ulama tersebut atau tidak. Tentu, segala akibatnya ditanggung masing-masing, dunia dan akhirat. 

Bangsa Indonesia sudah terlatih untuk berbeda pendapat dan tidak perlu gaduh. Jika ada perbedaan pendapat, disampaikan saja hujjah masing-masing! MUI dan banyak ulama sudah berpendapat dalam bentuk fatwa. Kita hormati fatwa MUI. Itu bagian dari toleransi beragama. 

Jangan sampai dikembangkan opini bahwa mengucapkan salam lintas agama adalah indikator kerukunan umat beragama. Kasihan saudara-saudara kita yang non-muslim, jika diharuskan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa-barakatuh dalam setiap pidatonya! 

Baca juga :