Soal Tim Israel di Piala Dunia U20, Berharap Konsistensi Politik Luar Negeri Indonesia

Soal Tim Israel di Piala Dunia U20, Berharap Konsistensi Politik Luar Negeri Indonesia

Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)

Tahun 2023 ini, Indonesia akan menjadi Tuan Rumah dalam turnamen Piala Dunia (Sepak Bola) U-20. Acara  itu akan berlangsung pada 20 Mei hingga 11 Juni 2023. Lokasi pertandingan berada di  kota, yakni tadion Utama Gelora Bung Karno (Jakarta), Stadion Jakabaring (Palembang), Stadion Jalak Harupat (Bandung), Stadion Manahan (Solo), Stadion Gelora Bung Tomo (Surabaya), dan Stadion Kapten I Wayan Dipta (Gianyar, Bali). 

Tapi, sejak tahun 2022 lalu, kotroversi sudah merebak. Masalahnya, dari 8 finalis yang akan bertanding, terdapat Tim Sepak Bola Israel. Tujuh negara lainnya yang juga lolos adalah tuan rumah Indonesia, Inggris, Prancis, Italia, Slowakia, Amerika Serikat dan Honduras.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Menpora Zainudin Amali sudah menyatakan, bahwa tim sepak bola Israel dapat berlaga dalam Piala Dunia U-20 tersebut. Alasannya, sepak bola jangan dikaitkan dengan politik. Tetapi, berbagai pihak pun sudah menyuarakan agar Tim Sepak Bola Israel dilarang masuk ke Indonesia. 

Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah Indonesia dalam menyikapi kontroversi rencana kedatangan Tim Sepak Bola Israel tersebut? Benarkah sepak bola atau masalah olah raga tak perlu dikaitkan dengan politik?

Hingga kini, Indonesia masih menolak untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sebaliknya, Indonesia merestui berdirinya Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Tak hanya itu, Indonesia juga aktif dalam berbagai forum internasional untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. 

Sudah bertahun-tahun, Israel berusaha melunakkan sikap Indonesia agar mau membuka hubungan diplomatik dengan negara Yahudi tersebut. Pada tahun 2021 lalu, situs berita kompas.com (23/12/2021) memuat berita berjudul: “AS Janjikan Bantuan Rp 28 Triliun jika Indonesia Buka Hubungan dengan Israel.” 

Disebutkan, bahwa Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjanjikan bantuan pembangunan hingga 2 miliar dollar AS (Rp 28 triliun) jika Indonesia mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. 

Namun, berkali-kali pemerintah Indonesia membantah berbagai berita tentang rencana pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak berniat membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Retno mengatakan, pernyataan tersebut sesuai arahan Presiden Joko Widodo sehubungan dengan isu Indonesia yang akan menormalisasi hubungan dengan Israel. 

“Hingga saat ini tidak terdapat niatan Indonesia untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel,” ujar Retno dalam konferensi pers virtual, Rabu (16/12/2020). Retno menambahkan, Indonesia tetap memberikan dukungan besar terhadap kemerdekaan Palestina sampai saat ini. “Dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina berdasarkan two-state solution dan parameter internasional yang telah disepakati, secara konsisten akan tetap dijalankan,” kata Retno. 

***

Sejak disahkannya pembukaan UUD 1945 yang mengandung kalimat “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”, pada tanggal 18 Agustus 1999, maka politik luar negeri negara Republik Indonesia selalu dikatakan berpijak atas dasar sikap anti terhadap penjajahan. Semangat menentang penjajahan (kolonialisme) tercermin dalam berbagai kebijakan politik luar negeri Indonesia sejak kemerdekannya diproklamasikan.

Mengacu kepada pembukaan UUD 1945, dalam salah satu pidato kenegarannya di tahun 1967, Presiden Soeharto menetapkan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia yang berdiri di atas lima landasan. Salah satunya, yang pertama, bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Ungkapan ini merupakan pengakuan dan penegasan bangsa Indonesia untuk mendukung tiap-tiap perjuangan kemerdekaan di dunia, karena “setiap bangsa berhak untuk memiliki kemerdekaan itu, berhak menentukan nasib sendiri, berhak untuk menentukan cara hidupnya sendiri, berhak untuk memberi isi kepada kemerdekaannya sendiri sesuai dengan cita-citanya sendiri”.

Kedua, bahwa “penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bangsa Indonesia menentang setiap bentuk penjajahan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan itu. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya dan dari mana pun datangnya, baik yang bersifat politik, ideologi, kultural, maupun ekonomis. (Luhulima, C,P.F., Beberapa Dimensi Politik Luar Negeri Indonesia (dalam buku Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, editor Bandoro, Bantarto, et.al. Jakata, CSIS, 1995). 

Sikap Indonesia yang tegas menentang kolonialisme Israel dapat dilihat misalnya dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Dalam Komunikasi Akhir Konferensi Asia-Afrika Bandung tanggal 24 April 1955, antara lain ditegaskan: “In view of the existing tension in the Middle East, caused by the situation in Palestine and the danger of that tension to world peace, the Asian-African Conference declared its support of the rights of the Arab People of Palestine and called for implementation of the UN-resolutions on Palestine and the achievements of the peaceful settlement of the Palestine question.” 

Karena itulah, Presiden Soekarno melarang delegasi Israel untuk memasuki Indonesia dalam Asian Games IV (24-31 Agustus 1962). Sikap tegas Presiden Soekarno itu dilanjutkan oleh Presiden Soeharto. Dalam Sidang KTT OKI ke-6 di Dakar Senegal, tahun 1991, Presiden Soeharto berpidato:  “Perdamaian hanya dapat ditegakkan dengan memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada rakyat Palestina dan penarikan tanpa syarat pasukan pendudukan Israel dari seluruh wilayah Arab yang diduduki, termasuk Al Quds Al-Syarif, Dataran Tinggi Golan dan Lebanon Selatan.” (Republika, 16 Juni 1999)   .

Mengingat kuatnya dukungan tokoh-tokoh Palestina terhadap Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, sepatutnyalah pemerintah Indonesia terus mempertahankan sikap konsistennya dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Memang, posisi Indonesia sangat dilematis dalam Turnamen Piala Dunia U-20 ini. Tapi, bagaimana pun, kemerdekaan suatu bangsa tentu lebih berharga bagi kemanusiaan. 

Apalagi, penyelesaian masalah Palestina merupakan salah satu kunci terwujudnya perdamaian dunia. 

Karena itulah, kita berharap konsistensi pemerintah dalam menyikapi penjajahan Israel atas Palestina, dan menolak masuknya Tim Sepak Bola Israel ke Indonesia. 

(*)
Baca juga :