Agustinus: Halo sutradara, jangan begini, dong, mainnya... pemulihan citra Menkeu yang diagung-agungkan oleh fansnya bagai hadiah Tuhan dari surga buat Indonesia

Catatan: Agustinus Edy Kristianto

Halo sutradara, jangan begini, dong, mainnya: cerita transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenkeu dikopling untuk kemudian berhenti sama sekali. 

Kata Koran Tempo: “Kabut Transaksi Rp300 Triliun”.

Barang panas itu awalnya dilempar oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Sumbernya PPATK. 

Masyarakat bergejolak. Heboh. 

Awalnya berhembus dugaan korupsi, kemudian pencucian uang, ujungnya mentok sekadar indisipliner pegawai yang nilai transaksinya minim dan sudah dihukum disiplin oleh Irjen Kemenkeu —yang saat ini merangkap Komisaris BRI itu.

Entah apa lagi berikutnya. Tapi makin ke sini lampunya makin redup seiring makin terangnya sinar pemulihan citra Menkeu yang diagung-agungkan oleh fansnya bagai hadiah Tuhan dari surga buat Indonesia itu.

Penonton kecewa. 

Ini seperti nonton final Liga Indonesia yang berakhir juara bersama karena lampu stadion tiba-tiba mati. Menkopolhukam yang tadinya duel dengan Menkeu, sekarang menjadi duet—kata “Rakyat Merdeka”. 

Para pakar dan konsultan merapikan bahasanya menjadi orkestrasi—seperti layaknya seminar manajemen.

PPATK yang awalnya terdengar galak mendadak melempem seperti bocah kelelahan sehabis ngobak di kali. Meskipun terbersit secercah bahagia—MUNGKIN karena anggaran yang sebelumnya dibintangi Menkeu sudah dibuka gemboknya alias cair dan gajian lancar lagi.

Mau kita tuding sang menteri menebar hoaks? 

Rasanya percuma. Itu sama saja membuka panggung pamer intelektual dan proyek baru buat mereka yang mengaku ahli hukum dan pemengaruh untuk menguliahi kita tentang perbedaan antara “hoaks” dan “berita bohong” seturut UU ITE atau UU 1/1946. Mana yang tindak pidana, mana yang bukan. 

Mau kita goreng ke mana lagi? Mau kita analogikan dengan kasus Surya Darmadi (Duta Palma) yang menetapkan dua jenis kerugian negara, yakni kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara—misalnya dihitung semacam potensi pendapatan atau kerugian masyarakat yang hilang akibat kelakuan penyelanggara negara, misalnya hilangnya potensi penerimaan pajak karena pegawai pajak ‘main’ dengan WP selama kurun waktu tertentu?

Padahal simpel saja, ‘perdamaian’ antara Menkeu dan PPATK itu bagi saya sebetulnya menampar Menkopolhukam dan menempatkannya seolah pejabat penebar hoaks. Jika transaksi mencurigakan Rp300 triliun adalah hoaks dan menimbulkan kehebohan di masyarakat, apa bedanya dengan hoaks sang menteri menikahi BCL?

Jika sekelas Menkopolhukam saja begitu, layak JIKA orang beranggapan pemerintahan saat ini adalah hoaks—yang berarti presidennya pun hoaks. Jika pemerintahan saat ini adalah hoaks, pertanyaan selanjutnya, buat apa kita bayar pajak?

Ya, itu pikiran dangkal, sekadar nakal. Sama nakalnya dengan sindiran orang saat ini bahwa ‘SEKOLAH BISNIS” terbaik penghasil miliarder di Indonesia adalah sekolah kedinasannya Rafael, akademinya FS… 

Prinsipnya: belajar sebentar, banyak menjilat; pasti cuan!

Tapi poin kritiknya tetap sama: pemerintahan ini penuh sandiwara. Terlalu banyak pura-puranya. Terlalu tebal make-up artisnya. Seperti badut!

Oleh sebab itu, kasus transaksi mencurigakan Rp300 triliun itu tidak boleh berhenti, dihapus begitu saja, tetapi harus serius diusut sampai akar-akarnya, jika tidak mau pemerintahan saat ini dijuluki pemerintahan badut yang penuh hoaks.

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :