TAK KENAL MALU !

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Saya tidak peduli siapa yang akan membeli GOTO. Mau GRAB, mau asing, mau lokal. Bukan itu yang jadi soal.

Yang saya kejar adalah kerugian Telkomsel—anak usaha BUMN PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) yang menyetor Rp6,4 triliun untuk membeli saham GOTO di harga Rp270 per lembar pada 2021. Per penutupan Kamis (8/5/2025), saham itu tinggal senilai Rp81. Artinya, nilai investasinya susut lebih dari Rp4,4 triliun (turun sekitar 70% dari harga pembelian).

Mengapa Telkomsel mau beli GOTO, padahal GOTO adalah perusahaan yang rugi sejak didirikan sampai sekarang dan tidak menjamin untung di masa depan—sebagaimana tercantum dalam prospektusnya? Selama ini saya menduga kuat itu bukan murni pertimbangan kewajaran dan kepatutan bisnis, tapi karena ada faktor hubungan keluarga antara Menteri BUMN Erick Thohir dan kakaknya, Boy Thohir, sebagai pemilik GOTO—konflik kepentingan!

Saat ini ramai kabar bahwa GRAB akan mengakuisisi GOTO. Jika benar terjadi, saya menduga kuat transaksinya bukan dalam bentuk cash deal (tunai), melainkan pertukaran saham (share swap). Tujuannya jelas: agar dua pemegang saham terbesar GOTO—yakni SoftBank dan Alibaba, dua badan hukum asing yang berbasis di Singapura dan Hongkong dan menguasai sekitar 15% saham—bisa keluar lewat pintu belakang sambil membawa saham GRAB hasil pertukaran. Sementara itu, investor lain—termasuk Telkomsel—akan ditinggalkan menggenggam saham GOTO yang tinggal ibarat cangkang kosong.

Kenapa saya bilang kosong? Karena kabarnya, GOTO akan menyerahkan seluruh unit usahanya—kecuali lini bisnis keuangan (GOTO Financial)—kepada GRAB pascapertukaran itu.

Kerugian investasi Telkomsel di GOTO sangat mungkin tak lama lagi berubah menjadi kerugian permanen yang akan membebani laporan keuangan Telkom. Rp6,4 triliun. Amsyong!

Lalu, siapa yang bertanggung jawab?
Apakah kita masih ingat bagaimana dulu seorang pimpinan Telkom menyebut investasi ini sebagai bagian dari “sinergi BUMN digital”? Katanya ini investasi strategis, masuk ke ekosistem teknologi masa depan. Tapi sekarang sinergi itu terancam kosong. Investasinya gagal. Dan publiklah yang menanggung rugi.

Yang lebih menyakitkan, publik masih saja diajak percaya bahwa GOTO adalah simbol “karya anak bangsa”, penggerak ekonomi digital, penyelamat UMKM. Seolah-olah GOTO itu dewa. Padahal GOTO adalah entitas bisnis biasa—yang sejak awal rugi, tak pernah menjanjikan laba, dan kini tampaknya sedang ditata untuk diserahkan ke investor berikutnya.

Jangan naif. Jangan mudah ditinju oleh jargon.

Kalau kita buka laporan keuangannya, faktanya begini:

GRAB mencetak pendapatan Rp12,3 triliun di kuartal I 2025 dan untung Rp160 miliar. GOTO cuma meraih Rp4,2 triliun dan rugi Rp366 miliar. Keduanya memang sama-sama punya akumulasi rugi besar—GRAB Rp277 triliun, GOTO Rp214 triliun—tapi bedanya, GRAB sudah mulai untung dan kasnya jauh lebih kuat.

Dari sisi aset: GRAB Rp154 triliun, GOTO Rp43 triliun. Ekuitas GRAB Rp103 triliun, GOTO Rp29 triliun. Kas GRAB Rp45 triliun, GOTO hanya Rp18 triliun. Arus kas operasi GRAB Rp1,1 triliun, GOTO hanya Rp300 miliar—dan itu pun sebagian besar dari bunga deposito, bukan dari bisnis inti.

GRAB masih berinvestasi, GOTO justru menjual anak usaha dan aset keuangan. GRAB ekspansi. GOTO bertahan hidup.

GOTO bahkan sudah membeli kembali 135 miliar sahamnya sendiri (saham treasuri) senilai Rp5,5 triliun. Dalam laporan arus kas kuartal I 2025, pembelian saham ini tercatat dalam aktivitas pendanaan—bukan untuk kepentingan publik, tapi disiapkan untuk aksi korporasi. Sementara itu, laporan keuangan GRAB menunjukkan tidak ada alokasi dana tunai besar untuk akuisisi—tidak ada tambahan pinjaman, tidak ada penerbitan saham baru, dan investasinya justru diarahkan ke entitas minoritas.

Ini semakin memperkuat dugaan bahwa transaksi akan dilakukan dalam bentuk pertukaran saham, bukan cash deal. Maka SoftBank dan Alibaba bisa keluar selamat, tukar saham GOTO dengan saham GRAB. Telkomsel? Tetap menggenggam lembaran saham yang nilainya tinggal sepertiga.

Kerugian lebih dari Rp4,4 triliun.

Inilah faktanya: GRAB makin kuat. Investor asing keluar untung. GOTO ditinggal kosong. Telkomsel rugi. Publik nasional cukup dikasih makan jargon nasionalisme digital!

BUMN bak dijadikan bumper. Uang negara seolah jadi pelumas saja. Jika mau diburu pakai jerat aturan korupsi, UU BUMN yang baru sudah berlaku bahwa direksi dan komisaris BUMN bukan penyelenggara negara.

Ini bukan semata soal merger. Ini soal akuntabilitas. Karena rugi Rp4,4 triliun bukan angka main-main. Dan kalau tidak ada pejabat yang bertanggung jawab, maka kita memang hidup di negeri yang korup, banyak premannya, dan pejabatnya tak kenal malu.

Salam,

AEK

Baca juga :