SURIAH, Dari Nabi Zakaria Hingga Kesultanan Ottoman

Oleh: Saief Alemdar (WNI di Suriah)

Di Suriah itu banyak sekali kuburan-kuburan Sahabat, Ulama, Sultan, dan tokoh-tokoh besar lainnya sepanjang sejarah Islam, ada yang asli, ada yang diragukan validitasnya, ada juga yang dibuat-buat alias palsu.

Semua itu adalah bagian dari ingatan sebuah bangsa terkait dengan simbol dari masa lalu mereka, sehingga makam dan kuil didirikan, dan patung-patung dipahat untuk para pemimpin, penyair, penulis, ksatria dan pendeta yang suatu hari pernah memberikan pengaruh bagi peradaban dan sejarah mereka.

Namun semua itu tetap tidak lepas dari formulasi politik, sosial, dan bahkan agama dan sektarian. Beberapa makam diagungkan dan nilai pemiliknya ditinggikan, dan sebagian kuburan lainnya dihilangkan. 

Di Masjid Agung Bani Umayyah di Aleppo terdapat tempat suci yang diyakini sebagai peristirahatan terakhir Nabi Zakaria, dan di dekatnya ada makam filosof besar dan tokoh “illuminati” Persia pada masa Seljuk, Shihabuddin Al-Suhrawardi dan penyair Azerbaijan pada masa Mamluk, Imaduddin Al-Nasimi, dan di antara mereka tepat di depan benteng Aleppo seorang putri dari Dinasti Ayyubi, Amira Dayfa Khatun, keponakan Sultan Salahuddin Al Ayyubi.

Masjid Agung Bani Umayyah di Damaskus juga bangga dengan sisa-sisa jasad Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis) dan kepala sidna al-Hussein yang disemayamkan di dalamnya, dan tidak jauh dari mereka adalah makam Salah al-Din al-Ayyubi, Sultan Nuruddin Zanki dan tidak jauh dari situ ada al-Zahir Baybars dan filosof agung al-Farabi. 

Tidak jauh dari Masjid Umawi bersemayam beberapa Khalifah Dinasti Umayyah, termasuk sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus yang kemudian menjadi khalifah Umayyah yang selama 90 tahun berhasil mencapai Andalusia. Disana juga bersemayam Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah bersama muridnya Imam Ibnu Katsir, dan juga Imam Ibnu Qayyim Aljauziyyah.

Di kaki Qasioun, syekh akbar Ibn Arabi dan Emir Abd al-Qadir al-Jaza'iri bersemayam. Belum lagi kalau naik sedikit ada makam Nabi Zulkifli, dan Ibnu Malik pemilik masterpiece Alfiah yang tidak asing bagi peminat ilmu Nahwu.
Perang yang terjadi di Suriah meliputi seluruh wilayah kuburan-kuburan dan makam-makam itu, mulai dari makam Sayyidah Zeynab di Damaskus, hingga makam Sahabat Ammar bin Yaser di Raqqa, melewati makam Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Idlib dan makam Sahabat Khalid bin Walid di Homs.

Semua rakyat Suriah dan Turki mungkin tahu kalau makam Suleyman Shah, kakek pendiri Dinasti Ottoman berada di Suriah. Suleyman Shah adalah kepala suku Kayi yang merupakan nenek moyang para Sultan Ottoman. Suleyman Shah adalah ayah Ertugrul yang membuka jalan bagi anaknya Usman bin Ertugrul yang kemudian hari mendirikan Dinasti Utsmaniyyah (Ottoman) yang kelak menguasai 3 Benua. 

Ketika Mongol menyerang Baghdad dan seluruh wilayah Islam lainnya, Suku Kayi yang kalah perang mengungsi ke wilayah Anatolia di bawah naungan Sultan Seljuk, namun sayangnya Suleyman Shah meninggal dalam perjalanan dan dimakamkan di Benteng Ja’bar di tengah Sungai Eufrate di Suriah. 

Pasca kemenangan dalam perang Marj Dabiq 1516 M, dan secara resmi Ottoman menguasai Aleppo atau Kesultanan Mamluk. Sultan Selim l membangun makam Suleyman Shah dengan baik selayaknya makam nenek moyang para Sultan. 

Ketika Perancis masuk dan menjajah Suriah, Ottoman dengan terpaksa melepaskan Suriah ke tangan Perancis. Namun, terjadi kesepakatan Treaty of Ankara antara Turki dan Perancis tahun 1921 yang pada intinya menyepakati bahwa makam Suleyman Shah di Suriah tetap menjadi wilayah kedaulatan Turki. Sampai saat ini, makam Suleyman Shah dan sekitarnya merupakan satu-satunya wilayah kedaulatan Turki di luar Turki.

Namun, yang tidak banyak diketahui oleh umum adalah makam sultan terakhir Ottoman, Sultan Muhammad Wahid al-Din, berada di Damaskus. Beliau memilih peristirahatan terakhirnya di tengah jantung kota Damaskus, tepatnya di Takiye Suleymaniyah.

Takiye Suleymaniyah terletak di jantung kota Damaskus, dibangun oleh Sultan Utsmaniyah Suleiman Al Qanuni, yang memerintahkan pembangunannya pada tahun 1554, di tempat yang sebelumnya adalah Istana Zahir Baybars, yang dikenal sebagai “Istana Ablaq.” Takiye itu dirancang oleh arsitek Turki terkenal, Mimar Sinan.

Pada tahun 1922, Parlemen Turki yang dipimpin oleh Attaturk memutuskan untuk menjadikan Sultan Muhammad Wahid al-Din sebagai “sultan boneka” yang tidak memiliki kekuatan apa-apa, Sultan hanya sebagai simbol. Sultan menolak dan Parlemen memutuskan untuk mengasingkan Sultan ke Malta.

Dari Malta Sultan pindah ke Hijaz atas permintaan Syarif Hussein, dari Hijaz beliau pindah ke Kairo dan kemudian menetap di Italia. Pada tahun 1926 beliau meninggal di Sanremo, Italia dalam keadaan miskin, dan jasadnya berhari-hari tidak boleh dimakamkan atas perintah Pengadilan Italia, sebelum hutang-hutangnya dilunasi. 

Setelah hutangnya dilunasi, jenazah Sultan dibawa ke Beirut, dari Beirut dibawa ke Damaskus untuk dimakamkan sesuai dengan wasiat yang beliau tulis sebelum meninggal. Beliau dimakamkan di Takiye Suleimaniyeh di tengah kota Damaskus.

(*)

Baca juga :