Glorifikasi Sejarah (Khilafah) Hanya Romantisme?

Glorifikasi Sejarah (Khilafah) Hanya Romantisme?

Oleh: Moeflich H. Hart 
(Pakar Sejarah, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Suatu saat, dalam sebuah obrolan beberapa orang tahun 2017, tujuh tahun silam, saya ditanya oleh cendikiawan Muslim Ismail Yusanto (Jubir HTI), "Pak Moeflich, Prof. Azyumardi Azra mengatakan bahwa khilafah itu hanyalah romantisme. Menghidupkan kembali sejarah itu hanyalah romantisme. Bagaimana tuh menurut Pak Moeflich?" 

Saya gak tahu, apakah Ismail Yusanto agak bingung menjawab anggapan itu atau hanya ingin tahu pandangan saya saja.

Saya spontan menjawab. "Iya benar, sejarah memang romantisme. Ilmu sejarah memang ilmu romantisme dan sejarah yang hidup justru adalah sejarah yang romantis."

Beliau kaget, saya membenarkan pikiran itu tapi dalam konteks yang berbeda. "Waah ... menarik nih," katanya.

"Orang sejarah atau para sejarawan, buat apa menggali, meneliti dan ingin mengetahui masa lalu? Ingin mengetahui masa silam yang sudah terkubur? Ingin mengungkap kemajuan dan kejayaannya? Bukankah itu romantisme? Pikiran boleh mengatakan itu demi ilmu pengetahuan tapi bawah sadarnya, sebenarnya adalah romantisme. Tapi romantismenya gak bisa cetak ulang atau 'copy paste historis,' harus disesuaikan dengan konteks realitas sosial politik zaman yang sudah berubah."

"Gak salah dikatakan sejarah itu romantisme karena hakikatnya memang begitu dan belajar sejarah memang harus romantis. Fakta-fakta itu ilmu pengetahuannya, romantisme itu penghayatannya, penjiwaannya, sehingga membaca sejarah menjadi hidup. Jadi, tak perlu merasa bersalah dianggap romantisme, merindukan masa lalu,  merindukan sejarah untuk terulang dan bangkit kembali. Karakter sejarah memang begitu."

"Iya ya, bener juga," selanya.

"Pada dasarnya, semua masyarakat dan bangsa membanggakan masa silamnya untuk dihidupkan kembali sebagai kebanggaan sejarahnya. Lihat saja, Jerman di bawah Adolf Hitler ingin menguasai Eropa dengan Nazi-nya karena bangsa Arya dalam sejarahnya adalah bangsa yang unggul. Hitler ingin mengembalikan kejayaannya. Kita pun sama. Orang Jawa membanggakan sejarah Kerajaan Majapahit, orang Sunda membanggakan sejarah Kerajaan Pajajaran dan umat Islam membanggakan kegemilangan sejarah peradabannya, membanggakan kekhalifahannya yang lama menguasai dunia dan menjadi fondasi dan katalisator modernitas peradaban Barat sekarang. Semuanya adalah romantisme. Mempelajari sejarah tanpa romantisme adalah mempelajari sejarah yang kering dan gersang. Sejarah yang tidak hidup. Itulah sejarah yang dipelajari di semua sekolah dan semua perguruan tinggi sekarang. Sejarah yang tanpa ruh."

Respon Ismail Yusanto tampak senang, tapi komentarnya yang bikin saya kaget, "Waah ... cocok ini untuk jadi jubir HTI." Saya jawab: "Boleh Pak, silahkan HTI melamar saya karena saya memang ingin Hidup Tiga Istri." Hahaha ... 😄

Saat menjelaskan itu, saya merasa sedang menjadi wasit pikiran antara Azyumardi Azra dengan Ismail Yusanto tentang fungsi dan hakikat sejarah 😊☕

Baca juga :