Kata MUI: Jika Palestina Merdeka, Tak Ada Alasan Indonesia Membenci Israel
Koreksi untuk MUI: Jika Palestina Merdeka, Tak Ada Israel
***
MUI ceritanya mau membela Presiden Prabowo yang menyatakan Indonesia akan mengakui negara Israel dan menjalin hubungan diplomatik jika Palestina merdeka.
Ketua Bidang Hubungan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sudarnoto Abdul Hakim menyatakan, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk membenci Israel jika Palestina telah merdeka dan mendapatkan kembali hak atas wilayahnya.
Hal ini disampaikan Sudarnoto merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut akan mengakui negara Israel jika kedaulatan Palestina diakui Israel.
"Jika Israel tidak lagi menjajah, semua pasukan mundur dari Gaza, semua tanah yang telah direbut secara paksa oleh Israel dikembalikan, semua tawanan Palestina dilepas, maka tidak ada lagi alasan Indonesia untuk membenci Israel," kata Sudarnoto dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).
***
Pernyataan MUI dan Prabowo ini sebetulnya ambigu dan bertentangan dengan konstitusi Pembukaan UUD 1945:
“Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Kalimat ini bukan hanya kutipan puitis, melainkan fondasi konstitusional dalam pembukaan UUD 1945 yang seharusnya menjadi kompas moral politik luar negeri Indonesia.
Namun, ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengakui Israel jika Palestina lebih dahulu diakui sebagai negara merdeka, publik tersentak. Apakah negara ini sedang mengaburkan prinsip dasarnya dengan politik akomodatif yang membingungkan?
Pernyataan tersebut bukan sekadar slip diplomasi. Ini adalah gejala paradoksal yang menampar kesadaran historis bangsa. Indonesia sejak awal berdiri memosisikan diri sebagai pembela kemerdekaan Palestina. Bahkan, dukungan terhadap Palestina telah menjadi identitas dalam solidaritas dunia Islam. Namun kini, wacana pengakuan terhadap Israel, negara yang secara terang-terangan masih menjajah tanah Palestina, justru datang dari pemimpin tertinggi negeri ini.
Publik pun mencium aroma pragmatisme politik luar negeri. Alih-alih mempertegas komitmen anti-penjajahan, pemerintah justru membuka ruang kompromi dengan penjajah. Ini bukan hanya soal hubungan bilateral atau politik realistis, tetapi menyangkut kredibilitas prinsip konstitusi itu sendiri.
Lebih jauh, kita juga menyaksikan bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia semakin kehilangan karakter ideologisnya. Diplomasi yang dibangun atas dasar netralitas semu dan keseimbangan palsu kini menjelma menjadi diplomasi abu-abu, serba tanggung, membingungkan dan tak lagi berpihak tegas pada kebenaran.
Ironis, di saat umat Islam di Gaza dibantai, Indonesia justru membuka celah untuk mengakui rezim penjajah, meski dengan syarat yang absurd "Palestina harus merdeka dulu". Padahal, kemerdekaan Palestina tak akan pernah terjadi sampai Israel sang penjajah tak ada lagi di bumi Palestina.
Kita koreksi sedikit. pic.twitter.com/ABCMqOjd7I
— Ageng Yudhapratama (@ageng_yudha) May 30, 2025