Mengapa Ratusan Dosen UGM Tolak Gelar Profesor Kehormatan?

[PORTAL-ISLAM.ID]  Menanggapi kabar Rektorat UGM akan mengangkat Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, PhD sebagai profesor kehormatan.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Koentjoro mengusulkan batas usia pensiun seorang profesor sebaiknya diperpanjang ketimbang mengangkat profesor kehormatan atau honorary professor dari kalangan nonakademik atau praktisi.

“Hormatilah dosen-dosen karena banyak di mana-mana terjadi usia pensiun profesor diperpanjang kalau misalkan memang kebutuhannya memenuhi. Bukan didatangkan dari praktisi karena mereka (praktisi) kan tidak punya pengalaman mengajar,” kata Koentjoro saat di Kampus UGM Yogyakarta, Jumat (17/2).

Profesor Koentjoro yang tercatat sebagai Ketua Komisi III Dewan Guru Besar UGM menyebutkan, tidak kurang 295 guru besar di UGM bakal memasuki masa pensiun pada 2025. Meski jumlah guru besar atau profesor di UGM akan banyak berkurang, ia tidak sepakat jika jabatan itu nantinya diisi dari kalangan nonakademik atau pejabat publik yang diangkat sebagai profesor kehormatan.

Profesogela adalah jabatan akademik dan bukan gelar akademik laiknya sarjana atau doktor yang melekat sepanjang hidup. “Profesor bukan gelar. Profesor itu adalah jabatan fungsional yang diraih dosen dengan tertatih-tatih,” kata Koentjoro.

Untuk menduduki jabatan akademik tertinggi itu, menurut dia, para dosen harus melalui tahapan panjang mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga profesor. Seorang pengajar atau dosen juga harus mengumpulkan kum penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pengajaran.

Tidak hanya itu, menurut dia, untuk menempuh jenjang pendidikan S3 sebagai syarat dosen dapat mengajukan kenaikan pangkat sebagai profesor juga tidak mudah. Saking susahnya menempuh jenjang S3, menurut dia, bahkan salah satu rekannya di Forum Dewan Guru Besar Indonesia ada yang selama enam tahun menyandang jabatan itu belum mendapat kesempatan menguji disertasi.

“Pak saya sudah enam tahun menjadi guru besar belum pernah menguji S3, membimbing S3 karena saking susahnya untuk S3,” ucap Koentjoro menirukan keluhan rekannya.

Senada dengan Koentjoro, Prof Djanianton Damanik mengatakan, ada atau tidak ada Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan Pada Perguruan Tinggi, jabatan profesor tetap tidak pantas diberikan kepada seseorang yang tidak memenuhi rekam jejak sebagai akademisi. “Prestasi atau kinerja akademiklah yang menjadi dasar untuk jabatan guru besar atau profesor, bukan yang lain,” kata Djanianton.

Prof Koentjoro dan Prof Djanianton, adalah dua dari 353 dosen UGM yang namanya tercantum dalam surat pernyataan sikap menolak usulan pemberian gelar guru besar kehormatan kepada individu di sektor nonakademik. Surat tertanggal 22 Desember 2022 itu ditujukan kepada Rektor UGM serta ketua, sekretaris, ketua-ketua Komisi, dan anggota Senat Akademik UGM.

Sebelumnya, UGM menyatakan tengah melakukan kajian akademik terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada perguruan tinggi.

Dosen Departemen Hukum Tata Negara UGM Dr Andi Sandi Antonius selaku Ketua Tim Kajian Regulasi Profesor Kehormatan UGM menyadari peraturan tersebut memang menuai beragam tanggapan dari dosen UGM.

“Kajian ini dimaksudkan untuk mendudukkan pemberian profesor kehormatan dengan prudent (bijaksana) sehingga marwah UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi tetap terjaga,” ujar Andi Sandi.

Sekretaris Rektor UGM Wirastuti Widyatmanti menekankan bahwa di UGM setiap pandangan akan dihargai dan dihormati. Prinsip tersebut, menurut dia, yang kemudian menjadi dasar UGM melakukan kajian terhadap Permendikbudristek tersebut. “Hasil akhir dari kajian tersebut akan disampaikan kepada Kementerian dan menjadi dasar langkah UGM ke depannya,” kata Wirastuti. [fusilatnews]
Baca juga :