Aksi Perlawanan dari Madura


[PORTAL-ISLAM.ID]  Kalau soal nyali dan konsistensi, orang Madura tak ada duanya. Silakan seluruh dunia sepakat warna daun itu hijau, reng Madure akan tetap pada pendiriannya. Warnanya biru daun.

Cobalah berkeliling seluruh Madura, dan iseng bertanya. Anda tidak akan menemukan daun berwarna hijau. Semuanya biru. Ha…ha…ha….

Itulah kultur khas Madura, unik, keras dan tegas. Mereka juga berani tampil beda. Tidak peduli apa kata dunia. Sikap itu juga terus berlanjut kepada generasi mudanya. Generasi digital (milenial dan iGeneration) Madura, sikapnya tetap sama.

Pembawa acara meminta hadirin meneriakkan “Jokowi Pole” (sekali lagi). Anak-anak muda yang hadir menjawab dengan teriakkan, “Jokowi Mole,” (Jokowi pulang-lah). Makin keras pembawa acara meneriakkan “Jokowi Pole,” makin keras pula mereka membalas dengan teriakan “Jokowi Mole” disertai salam dua jari.

Video aksi para remaja Madura ini sedang viral. Media-media online mengangkatnya sebagai berita. Sejumlah remaja yang mengenakan kaos pasangan Jokowi-Ma’ruf, terlihat tertawa-tawa mengacungkan salam dua jari. Salah seorang dari mereka merekamnya dan memberi narasi, layaknya seorang wartawan yang sedang menyampaikan laporan pandangan mata.

Usut punya usut, peristiwa tersebut terjadi Rabu (19/12/2018) di Balai Pertemuan Ratu Ebo, Bangkalan Madura. Saat itu Jokowi menghadiri kampaye deklarasi dukungan ulama Madura untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Bagi yang tak kenal kultur Madura, fenomena ini sangat mengejutkan. Aksi ini jauh lebih berani dari aksi “Uji Nyali wefie salam dua jari bersama Jokowi” yang kini tengah ngetrend di kalangan generasi digital.

Bagi Anda yang rajin mengamati media sosial, aksi semacam ini sangat mudah ditemukan bertebaran, di platform pertemanan, maupun situs berbagi video youtube. Sejumlah remaja tertawa dengan riang gembira foto bersama (wefie) Presiden Jokowi sambil mengacungkan salam dua jari.

Inilah sebuah pembangkangan sosial dalam diam. Hanya simbol. Perlawanan tanpa kekerasan. Sementara di Madura, perlawanan kekerasan itu dilakukan dilakukan secara frontal.

Sesuai karakternya, pembangkangan sosial (social disobedience) generasi digital ala Madura, unik, lucu, lugas, tampil beda, dan berani. Dua jari adalah salam kebangsaan paslon Prabowo-Sandi lawan Jokowi-Ma’ruf.

Dilakukan di sebuah acara yang dihadiri oleh Jokowi dan para ulama, jelas merupakan sebuah perlawanan terbuka. Tanda-tanda arus perubahan telah berubah menjadi sebuah gelombang.

Perlawanan meluas
Aksi para remaja Madura ini menunjukkan perlawanan/pembangkangan terhadap Jokowi sudah meluas, sampai ke berbagai pelosok negeri. Khusus untuk Madura, menjadi sebuah pukulan keras dan telak. Jawa Timur, khususnya Madura menjadi salah satu medan pertempuran utama yang kini tengah menjadi pertaruhan Jokowi.

Jangan hanya dilihat Madura sebagai pulau. Namun yang jauh lebih penting adalah Madura sebagai etnis. Mereka dikenal sangat solid dan militan. Selain di Pulau Madura, etnis Madura banyak bertebaran di penjuru Tanah Air.

Di Jatim mereka banyak tersebar di Kota Surabaya dan kawasan tapal kuda (Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi). Sub kultur Madura perantauan (Pendalungan). Total etnis Madura diperkirakan mencapai 20 juta jiwa.

Berbagai cara dilakukan untuk menaklukkan Madura. Mulai dari penggratisan jembatan tol Suramadu, sampai tantangan La Nyalla Mattalitti yang berani potong leher, bila sampai Jokowi-Ma’ruf kalah di Madura.

Jokowi dan timnya bekerja keras bergerilya di pulau garam ini. Salah satunya mencoba mendekati dan melakukan negosiasi dengan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin Imron yang kini tengah berada di penjara Sukamiskin, Bandung. Kendati berada di penjara, pengaruh Fuad Amin tak surut.

Indikasi pendekatan kepada Fuad Amin terlihat dengan hadirnya istri, anak, dan menantu Fuad Amin pada deklarasi dukungan di gedung Ratu Ebo.

Untuk acara deklarasi, Jokowi menurunkan full team. Mulai dari La Nyalla Mattalitti, sampai putri alharhum Gus Dur Yenny Wahid. Dalam undangan yang disebar, foto Gus Dur bahkan ditampilkan.

La Nyalla menjanjikan akan ada 1.000 ulama yang hadir. Namun ketika acara berlangsung, hanya belasan kiai yang hadir. Sejumlah kiai yang namanya ditampilkan dalam undangan, tidak hadir. Mereka mengaku namanya dicatut.

Untuk menunjukkan kepada Jokowi besarnya dukungan di Madura, panitia terpaksa melakukan mobilisasi massa. Termasuk diantaranya adalah para remaja yang mengenakan kaos Jokowi-Ma’ruf, namun malah mengacungkan salam dua jari sambil berteriak “Jokowi Mole.”

Fenomena di Madura semakin menunjukkan tanda-tanda menguatnya perlawanan dan melemahnya aura pesona Jokowi. Sebelumnya pertemuan Jokowi dengan relawan di Banda Aceh dibatalkan. Peserta yang hadir sangat sedikit. Padahal Jokowi membawa oleh-oleh yang diharapkan dapat meluluhkan hati masyarakat Aceh. Jokowi meresmikan ground breaking, jalan tol Banda Aceh-Sigli. Di Madura Jokowi juga membawa buah tangan berupa ribuan sertifikat yang dibagikan ke masyarakat.

Bukan hanya remaja yang tampaknya adu berani dalam permainan (game) “Uji Nyali Salam Dua Jari Bersama Jokowi.” Saat ini sedang viral seorang istri seorang profesor di Semarang, Jateng yang memasang Baliho Prabowo-Sandi dalam ukuran besar di halaman rumahnya. Si Ibu bernama Habibah ini berdiri di pinggir jalan dan kepada semua pengendara yang lewat, dia mengacung-acungkan salam dua jari.

Aksi ini dipicu kemarahan sang Ibu karena petugas Satpol PP mencopot spanduk Prabowo-Sandi yang dipasang di pagar rumahnya. Dia sudah mengadu ke KPU dan Bawaslu, namun tak digubris.

Sejarah mengajarkan kepada kita, pembangkangan sipil (civil disobedience) di berbagai belahan dunia, terjadi karena perlakuan yang tidak adil. Hukum berpihak kepada penguasa. Tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Pembangkangan dan perlawanan ini harus dilihat sebagai protes atas praktik pemerintahan Jokowi. Banyak pengamat asing yang menyatakan Jokowi anti demokrasi dan otoriter. Dalam konteks Pilpres 2019 merupakan alarm tanda bahaya. Waktunya sudah tiba. Wis wayahe Pak De. end.

Penulis: Hersubeno Arief
Baca juga :