Tragedi di Tengah Keramaian: Mengapa Pelatihan Bantuan Hidup Dasar (RJP) Harus Jadi Prioritas Nasional
Oleh: Dr. Erta Priadi Wirawijaya Sp.JP
Halo semuanya, dengan dr. Erta, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah dari Klinik Kiera.
Kali ini kita akan membahas sebuah kejadian tragis yang baru saja terjadi dan cukup menggetarkan hati banyak orang. Pada 28 April 2025, politikus PDIP Jakarta Utara, Brando Susanto (Anggota DPRD Jakarta), meninggal dunia saat acara Halal Bihalal. Kronologinya, beliau sedang menyampaikan sambutan di atas panggung sekitar pukul 13.32 WIB, lalu tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri. Brando langsung dibawa ke rumah sakit, namun sayangnya, nyawanya tidak tertolong. Kita semua tentu berduka, tetapi di balik duka ini ada pelajaran besar yang harus kita renungkan bersama.
Yang sangat disayangkan dalam kasus ini adalah: korban langsung dibawa ke rumah sakit tanpa terlebih dahulu dilakukan tindakan RJP (Resusitasi Jantung Paru) di tempat. Ini menunjukkan betapa minimnya kesadaran dan keterampilan dasar masyarakat kita dalam menangani kejadian henti jantung mendadak. Padahal, prinsip utama dalam kondisi orang yang tiba-tiba tidak sadarkan diri adalah melakukan evaluasi cepat: apakah korban masih bernapas, apakah nadinya masih teraba. Jika tidak ada napas dan denyut nadi, berarti itu sudah masuk dalam kondisi henti jantung dan harus segera dilakukan RJP di tempat kejadian.
Dalam dunia medis, waktu adalah segalanya. Kalau henti jantung terjadi dan tidak ada RJP yang diberikan dalam enam menit pertama, otak akan mulai mengalami kerusakan permanen akibat kekurangan oksigen. Setiap menit berlalu tanpa RJP, peluang selamat korban turun drastis hingga 7-10% per menit. Jadi bayangkan, kalau korban hanya diangkat, dibawa ke mobil, dibawa ke rumah sakit tanpa RJP sama sekali, peluang hidupnya saat tiba di rumah sakit sudah hampir nihil. Inilah yang membuat saya merasa kejadian seperti ini sungguh tragis dan seharusnya bisa dicegah.
Yang membuat miris, kejadian ini terjadi di tempat umum, di acara besar, dengan ratusan orang hadir. Tapi tidak ada satu pun yang mampu melakukan RJP. Ini fakta pahit yang harus kita akui: masyarakat kita belum siap menghadapi kegawatdaruratan dasar. Di negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Australia, Amerika Serikat, dan sebagian besar negara Eropa, pelatihan bantuan hidup dasar sudah masuk dalam kurikulum sekolah. Anak-anak SD sudah diajarkan mengenali kondisi henti jantung, melakukan kompresi dada, dan meminta bantuan dengan cepat.
Di Indonesia, kita masih berkutat pada pelajaran teoritis yang kadang tidak berdampak langsung ke hidup sehari-hari. Kita tahu rumus luas permukaan bangun ruang, tapi belum tentu tahu harus berbuat apa kalau melihat orang tiba-tiba jatuh dan tak bernapas. Ini adalah kesalahan dalam prioritas pendidikan kita. Pendidikan kesehatan dasar seperti ilmu gizi, cara menjaga kesehatan diri, hingga pertolongan pertama seharusnya sudah diajarkan dari usia dini.
Coba bayangkan, kalau anak-anak kita sejak TK sudah diajarkan mengenali makanan sehat, menyikat gigi dengan benar, memahami pentingnya olahraga untuk kesehatan jantung. Lalu di tingkat SMP, mereka mulai diajarkan mengenali tanda-tanda serangan jantung, stroke, asma, dan apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat. Bayangkan betapa banyak nyawa yang bisa diselamatkan hanya dengan sedikit pengetahuan praktis ini.
Pada tingkat SMA, pelajaran bisa lebih maju lagi: anak-anak diajarkan teknik-teknik pertolongan pertama yang benar, seperti RJP, penggunaan AED (alat kejut jantung), pembidaian patah tulang sederhana, atau menghentikan perdarahan. Sehingga ketika mereka lulus dan masuk dunia nyata, mereka bukan hanya siap kerja, tapi juga siap menjadi bagian dari masyarakat yang peduli dan bisa bertindak dalam situasi kritis.
Kita tidak bisa lagi berharap semua masalah bisa diatasi oleh tenaga medis profesional. Dalam kasus serangan jantung mendadak, detik-detik pertama adalah yang paling menentukan, dan sering kali, korban hanya akan diselamatkan kalau ada orang biasa yang kebetulan tahu apa yang harus dilakukan. Kalau kita terus membiarkan masyarakat tidak tahu apa-apa soal bantuan hidup dasar, kita sedang membiarkan lebih banyak nyawa melayang sia-sia di tengah keramaian.
Kasus Brando Susanto ini harus menjadi cambuk bagi kita semua. Harusnya, di acara sebesar itu ada petugas medis standby. Harusnya ada minimal 1-2 orang yang bisa melakukan RJP. Harusnya masyarakat kita tidak lagi hanya bisa berdiri melongo melihat orang jatuh, tapi langsung bertindak. Kita harus mulai mendesak pemerintah untuk memasukkan pendidikan kesehatan dasar, pertolongan pertama, dan bantuan hidup dasar ke dalam kurikulum wajib di sekolah.
Karena menyelamatkan satu nyawa, sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia. Dan pendidikan, harusnya tidak hanya membuat kita pintar, tapi membuat kita siap menyelamatkan hidup. Bagikan tulisan ini ke teman-teman dan keluargamu. Jangan tunggu sampai kejadian serupa menimpa orang yang kita cintai baru kita sadar: sudah waktunya kita semua bisa RJP.
(sumber: fb)