Jalan Tol Tak Ampuh Tekan Biaya Logistik
Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo ternyata tidak berhasil menurunkan biaya logistik di Tanah Air.
Biaya logistik di Indonesia diperkirakan sekitar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka ini masih di atas negara di kawasan ASEAN, seperti Malaysia yang sebesar 13 persen dari PDB pada kuartal I 2021.
Padahal tak sedikit dari pembangunan infrastruktur tersebut yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk melalui penyertaan modal negara (PMN) kepada badan usaha milik negara (BUMN) karya.
Salah satu infrastruktur yang cukup masif dibangun di era Jokowi adalah jalan tol.
Sebagai catatan, Badan Pengatur Jalan Tol mencatat jalur bebas hambatan yang dibangun sejak 2014 hingga Maret 2023 mencapai 1.848,1 kilometer.
***
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto, menjelaskan duduk persoalan sulit turunnya biaya logistik kendati pemerintah getol membangun infrastruktur, khususnya jalan tol. Menurut dia, jalur bebas hambatan tersebut tidak mengurangi biaya logistik, melainkan sebaliknya, justru menambah ongkos jalan bagi pelaku ekspedisi.
"Pengusaha truk tidak mau lewat jalan tol karena harus membayar. Biaya pulang dan pergi Jakarta-Surabaya, misalnya, bisa sampai Rp 3 juta," ujar dia, kemarin.
Kalau dibandingkan dengan tarif ekspedisi Jakarta-Surabaya yang paling tinggi senilai Rp 9 juta untuk sekali jalan, ia mengatakan, ongkos tol tersebut sudah memakan porsi seperenamnya. Di sisi lain, pelanggan juga tidak mau menanggung beban biaya tol. Jika digunakan sekalipun, jalan tol hanya mempercepat pengantaran selama sekitar satu hari.
Pemangkasan waktu pengantaran tersebut, menurut Mahendra, tidak mengurangi biaya transportasi dan biaya inventori atau biaya yang digunakan untuk menjamin barang selamat sampai di tujuan. Belum lagi jalan tol yang terbuat dari beton membuat ban truk cepat rusak dan menambah biaya pengusaha.
"Itulah penyebabnya kenapa perusahaan truk akhirnya memilih jalan biasa. Lebih lambat satu hari tidak apa," ujarnya.
Mahendra mengatakan komponen biaya logistik dan rantai pasok selama ini mencakup biaya transportasi, pergudangan, biaya sistem, biaya administrasi, hingga biaya inventori. Dari semua komponen tersebut, porsi biaya transportasi mencapai 40 persen. Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp 5.071 triliun pada kuartal I 2023, berarti biaya logistik mencapai Rp 1.166,33 triliun dan biaya transportasi sekitar Rp 466,53 triliun.
Infrastruktur Bukan untuk Logistik
Pengusaha logistik sekaligus anggota ALI, Zaldy Masita, mengatakan bukan hanya jalan tol, infrastruktur seperti pelabuhan dan bandara juga mematok ongkos tinggi untuk pelaku logistik. Dalam sepuluh tahun terakhir, ia mencatat tarif pelabuhan dan kargo udara tidak pernah turun.
"Jadi, pemerintah sebenarnya membangun infrastruktur untuk penumpang atau orang, bukan logistik. Makanya, (pembangunan itu) tidak berdampak pada logistik," kata dia. Tol laut yang menjadi andalan pemerintah untuk mengurangi biaya logistik di luar Jawa pun dianggap tidak cukup optimal implementasinya.
Adapun Ketua Umum Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, mengatakan pembangunan infrastruktur di era Jokowi banyak, tapi tidak terkoordinasi dengan baik. Pembangunan jalan tol, ia mencontohkan, cukup membantu pengusaha truk lantaran berhasil memindahkan kepadatan mobil pribadi dan penumpang dari jalur Pantai Utara (Pantura) ke jalan tol. "Tapi truk tidak ikut berpindah ke jalan tol," ujarnya.
Persoalan lainnya, Gemilang menambahkan, adalah produktivitas logistik. Kendati truk sudah cepat tiba di area bongkar-muat, proses membongkar serta memuat barang menelan waktu yang lebih lama lantaran rumitnya pengaturan dan perizinan. Akibatnya, kendaraan logistik menjadi tidak produktif. "Truk jalan ke Surabaya, tiba di sana menginap tiga hari. Di pelabuhan di Jakarta juga begitu."
Persoalan biaya logistik ini sebelumnya diangkat oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan biaya logistik di Indonesia masih tinggi kendati pemerintah telah mengucurkan banyak dana untuk infrastruktur. Bukan hanya biaya yang tinggi, indeks kinerja logistik Indonesia juga jeblok.
"Kita perlu memperbaiki indeks performa logistik dan biaya logistik yang masih kalah oleh negara berkembang lain," ujarnya, pekan lalu.
Di samping membangun infrastruktur, ia mengatakan, pemerintah berupaya menyederhanakan pelayanan dengan meningkatkan sinergi antar-kementerian dan lembaga. Musababnya, kinerja logistik sangat bergantung pada kebijakan banyak kementerian dan lembaga. Salah satu caranya ialah membuat Indonesia National Single Window (INSW).
Sebagai catatan, Bank Dunia menyebutkan skor Indeks Performa Logistik (Logistics Performance Index/LPI) Indonesia pada 2023 turun menjadi 3 dari 3,15 pada 2018. Akibatnya, peringkat performa logistik Indonesia juga melorot 17 peringkat menjadi ke-63.
Berdasarkan analisis Supply Chain Indonesia (SCI), dua dari enam dimensi LPI Indonesia naik dibanding pada 2018. Dua dimensi tersebut adalah kepabeanan yang skornya naik dari 2,7 menjadi 2,8; dan infrastruktur yang naik dari 2,895 menjadi 2,9.
Sementara itu, empat dimensi yang turun adalah lini masa yang turun dari 3,7 menjadi 3,3; pelacakan dari 3,3 menjadi 3; pengapalan internasional dari 3,2 menjadi 3; serta kualitas dan kompetensi logistik dari 3,1 menjadi 2,9.
Walaupun masih diperlukan analisis lebih dalam, Ketua SCI, Setijadi, melihat skor dimensi Infrastruktur LPI Indonesia pada 2023 meningkat walaupun sangat tipis. "Perubahan skor dimensi ini lebih baik daripada keempat dimensi lainnya yang menurun," ujarnya.
Menurut Setijadi, perbaikan performa logistik tidak bisa hanya dilakukan dengan membangun infrastruktur, tapi juga melalui pengembangan sistem logistik secara keseluruhan. Ia menyebutkan tiga hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki dan mengembangkan kinerja logistik, yakni merevisi Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional supaya sesuai dengan perkembangan bisnis dan perdagangan, teknologi, dan globalisasi; membentuk undang-undang logistik; serta membentuk lembaga permanen bidang logistik.
Terlalu Berfokus pada Jalan Tol
Pembangunan jalan tol Padang - Sicincin yang dikerjakan PT Hutama Karya, di Nagari Parik Malintang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 22 Mei 2023. ANTARA/Iggoy el Fitra
Sementara itu, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, berpendapat pemerintah perlu mengevaluasi program pembangunan infrastruktur di Indonesia. Musababnya, selama ini pemerintah lebih berfokus pada pembangunan jalan tol sehingga cenderung kurang mengembangkan moda angkutan logistik lainnya, seperti kereta api dan kapal laut.
"Komoditas yang diangkut kereta api masih terbatas berupa batu bara, bahan bakar minyak, dan semen. Sedangkan komoditas yang diangkut kapal laut masih terbatas berupa bahan makanan, semen, dan CPO," ujarnya.
Tak hanya itu, kata dia, tidak sedikit pula jalan nasional non-tol yang rusak dan macet sehingga pengiriman logistik tetap tersendat. Belum lagi maraknya premanisme dan pungutan liar terhadap angkutan truk di berbagai daerah. Sementara itu, jika memilih lewat jalan tol, biayanya pun cenderung mahal. "Akibatnya, biaya logistik kita tidak membaik, meski jumlah jalan tol bertambah signifikan."
[Koran Tempo, Kamis, 15 Juni 2023]