Apakah Seseorang Tidak Bisa Mengubah Nasibnya?
Setelah memperhatikan beberapa perbincangan dan pertanyaan tentang persoalan "takdir", baik di dunia nyata maupun dunia maya, banyak kalangan awam yang mempertanyakan hal ini sebenarnya tidak terlalu paham dan tampaknya juga tidak mau memahami kerumitan bahasan ini, sebagaimana rumitnya perdebatan berbagai firqah aqidah sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.
Mereka hanya ingin bertanya, "Apakah seseorang tidak bisa mengubah nasibnya saat ini?", maka kita jawab, "Bisa. Sangat bisa."
Kalau seseorang saat ini miskin, apakah dia bisa mengubah nasibnya jadi kaya di kemudian hari? Bisa.
Kalau seseorang saat ini bodoh dan tidak berpengetahuan, apakah dia bisa mengubah nasibnya jadi cerdas dan berwawasan luas? Bisa.
Kalau seseorang saat ini selalu gagal dalam pekerjaan, apakah dia bisa mengubah nasibnya sehingga bisa sukses di kemudian hari? Bisa.
Kalau seseorang saat ini bergelimang maksiat, apakah dia bisa mengubah keadaannya menjadi taat? Bisa.
Berarti, takdir itu tidak ada dong? Takdir tetap ada, cuma anda saja yang selama ini salah memahami konsep takdir. Namun, di sini saya tidak akan menjelaskan konsep takdir yang njelimet, khawatir anda kesulitan memahaminya. Kalau mau mendalami, silakan duduk di halaqah ilmu aqidah selama dua semester.
Saya hanya akan menyebutkan perkataan 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu yang masyhur: نفر من قدر الله إلى قدر الله, "Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lain)".
Saat itu, Khalifah 'Umar hendak menuju Syam, lalu beliau mendapat kabar bahwa terjadi wabah penyakit di sana, sehingga beliau memilih untuk kembali ke Madinah dan tidak jadi memasuki Syam. Sebagian shahabat mempertanyakan hal itu, "Apakah kita lari dari takdir Allah?", lalu 'Umar menjawab dengan ungkapan di atas: "Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah (yang lain)".
Maksud 'Umar, jika tetap memilih masuk Syam, lalu terkena wabah penyakit di sana, itu takdir Allah. Sebaliknya, jika memilih kembali dan tidak masuk Syam, sehingga bisa selamat dari wabah penyakit, itu juga takdir Allah. Maka, yang tepat adalah pilihan untuk selamat dari wabah penyakit.
Pelajaran dari cerita ini, memilih pilihan yang terbaik, melakukan upaya mengubah keadaan kita yang kurang baik, serta berjuang untuk mengubah nasib, itu tidak bertentangan dengan konsep iman terhadap takdir.
Keimanan terhadap takdir, tidak mengajarkan anda untuk bersikap fatalis, berpangku tangan, pasrah tanpa perlawanan, tidak mau berjuang mengubah keadaan yang buruk menjadi baik, dan seterusnya.
(*)