Wajah Demokrasi Indonesia Semakin Tidak Berkualitas

Pilpres 2024 semakin dekat. Sejumlah kandidat muncul namanya. Berbagai survei dilakukan untuk menjaring nama-nama tersebut. Mulai dari menteri, ketum partai hingga gubernur, nama-nama ini muncul dalam persaingan di berbagai survei.

Satu hal yang terlupakan, bahwa Survei hanya menjaring para tokoh berbasis elektabilitas. Survei menghasilkan angka-angka kuantitatif dari prosentase pemilih. Jadilah negeri ini, negeri yang melahirkan pemimpin semata-mata karena keberhasilannya mengumpulkan angka elektabilitas.  Dan angka-angka ini akan sangat ditentukan oleh siapa yang bisa memikat hati rakyat. Siapa yang bagus pencitraannya dan memiliki dana besar untuk membayar buzzer menyebarkan pencitraan itu, peluangnya untuk menang cukup besar.

Angka dalam demokrasi adalah bagian dari keniscayaan, dan ini tidak bisa dihindari. Tapi ironi, jika pemimpin itu lahir hanya berdasarkan angka-angka. Ironi jika pemimpin itu lahir semata-mata oleh survei elektabilitas dengan mengabaikan unsur integritas dan kapasitas.

Perlu diubah. Survei mesti diawali basisnya dari aspek kualitatif, bukan kuantitatif. Jaring para tokoh yang memiliki syarat untuk memimpin. Apa itu? Syarat pemimpin itu pertama, punya integritas. Kedua, punya kapasitas. Kedua unsur ini bisa dilihat dari rekam jejaknya. Juga dari kemampuannya memetakan jalan (visi) bangsa ini kedepan.

Lembaga-lembaga survei yang semakin banyak jumlahnya itu bisa menentukan indikator-indikator terkait integritas dan kapasitas. Termasuk standar yang terukur berbasis rekam jejak dari setiap tokoh yang akan dijaring. Siapa-siapa tokoh yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin bangsa, mereka inilah yang mestinya berhak untuk dilakukan survei elektabilitas. 

Setelah terjaring tokoh-tokoh yang berintegritas dan berkapasitas, baru kemudian dilakukan survei kuantitatif, atau elektabilitas. Sehingga, demokrasi kita berkualitas, karena menyiapkan ruang kompetisi bagi mereka yang memenuhi syarat secara kualitas untuk menjadi pemimpin.

Jadi, lakukan dahulu survei kualitatif untuk menjaring calon-calon terbaik, punya integritas dan berkapasitas untuk memimpin bangsa ini, baru berikutnya adalah survei elektabilitas.

Lembaga-lembaga survei, juga lembaga-lembaga kajian politik dan dunia kampus mesti bisa ikut ambil peran untuk memunculkan nama-nama yang layak dan diyakini akan mampu memimpin bangsa ini kedepan. Sehingga, kompetisi di pilpres adalah kompetisi orang-orang yang memiliki standar integritas dan kemampuan untuk memimpin bangsa kedepan. Bukan kompetisi yang hanya berbasis elektabilitas. Sebab, survei semata-mata berbasis elektabilitas akan melahirkan nama-nama yang tidak berstandar. Akibatnya, proses demokrasi menjadi tidak berkualitas. Adanya negatif dan black campaign (fitnah) yang dominan dalam kampanye kandidat presiden adalah indikator nyata bahwa kompetisi pilpres masih banyak diikuti oleh mereka yang tidak memiliki standar integritas dan kapasitas. Wajar jika kemudian kampanyenya tidak beradab, dan cenderung ngawur serta menghalalkan semua cara. Ini akan menambah wajah buruk bagi demokrasi di negeri ini. Hasilnya akan bisa sangat mengecewakan.

Jika pilpres diikuti oleh mereka yang memenuhi syarat memimpin, maka, siapapun yang akan menang di pilpres dan terpilih menjadi presidan adalah tokoh terbaik bangsa. Bukan tokoh hasil pencitraan dan kerja buzzer. 

Negara ini harus dijauhkan dari pemimpin yang hanya mampu mengandalkan pencitraan dan buzzer. Caranya? Tokoh-tokoh yang terjaring ikut kompetisi adalah mereka yang punya rekam jejak yang jelas dari sisi integritas dan kapasitas. Sehingga, demokrasi akan menjadi tangga untuk memajukan bangsa. Karena demokrasi menyiapkan orang-orang terbaik untuk memimpin bangsa ini.

Oleh Tony Rosyid - Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Tokyo, Jepang, 22 Maret 2023.
Baca juga :