39 Pejabat Kemenkeu Merangkap Jabatan Komisaris BUMN

CATATAN: Agustinus Edy Kristianto

Beberapa hari lalu—selepas status saya meluncur—ada yang usul supaya saya membuat daftar pejabat Kemenkeu yang rangkap jabatan komisaris BUMN/anak perusahaan BUMN. Syukurlah, Seknas FITRA telah membuatnya. Tercatat ada 39 pejabat eselon I dan II Kemenkeu merangkap jabatan komisaris BUMN/anak perusahaan BUMN. 

Rangkap jabatan berarti rangkap penghasilan dan itu juga terjadi di kementerian/instansi lain. Banyak, apalagi bagi para pemandu sorak di sekeliling Menteri BUMN. 

Masalah yang awalnya dari soal Rafael Alun dan bocah kejinya itu kini merembet jauh. Ada soal kesenjangan sosial, dugaan KKN, buruknya tata kelola pemerintahan, degradasi moral-pendidikan anak, absennya integritas dan teladan pemimpin—meski beberapa orang masih begitu pandir berpikir itu hanyalah semata iri atas rezeki orang dan tetap mengelu-elukan pejabat!

Presiden Jokowi saja cuma bicara jangan pamer. Dia tidak bicara nilai, teladan, jangan korupsi dst. Dia tak perintahkan perubahan sistemik supaya pejabat korup sulit bergerak bebas. Dia tak beri sinyal akan adanya perubahan regulasi supaya birokrasi lebih bersih. Dia tak bicara ikan busuk mulai dari kepala, oleh sebab itu pimpinan harus bersih terlebih dahulu sebelum menghajar bawahan—bukan berarti kita toleran terhadap ikan sedang macam Rafael dkk, ini juga perlu dihajar soal kekayaannya.

Saya mau fokus di kepala ikan. Jangan sampai kepala yang busuk tiba-tiba seolah pahlawan reformasi birokrasi. Kita masuk dari soal rangkap jabatan yang telah dibuka oleh FITRA itu. 

***

Dalam wawancara eksklusifnya dengan TEMPO, Menkeu sudah berkomentar tentang rangkap jabatan itu. Saya lihat dia juga bingung sendiri mau bilang apa. Satu sisi dia bilang alasan pejabat Kemenkeu rangkap komisaris BUMN adalah karena pemerintah sebagai pemegang saham utama BUMN, tapi di sisi lain dia juga mempertanyakan alasan itu. 

Ya, mau bagaimana lagi, Presidennya saja tidak peduli soal rangkap jabatan begitu apalagi berinisiatif melarangnya demi tata kelola pemerintahan dan BUMN yang lebih baik. Apalagi pembantunya—padahal kalau mau dirunut, dulu Menkeu ini begitu kondang antikorupsi sampai dibuat profilnya di BBC karena sikapnya menentang rangkap jabatan.

Bahkan KPK saja cuma memberikan ‘permakluman’ bahwa pejabat yang kaya itu bukan berarti pasti korupsi melainkan mereka juga ada penghasilan tambahan seperti menjadi komisaris BUMN. Padahal, JUSTRU itu masalahnya, hadeuh!

Jika masyarakat mempersoalkan, paling dianggap sebatas keberisikan. Banyak dalih untuk berkelit: aturan tidak melarang, yang penting kinerjanya bukan rangkapannya, bahkan jika kita persoalkan daftar hadir rapat-rapat dekom pun, bisa jadi tanggal dibuat mundur supaya yang tidak hadir bisa dibuat seolah hadir. 

Aturan bisa dibuat. Administrasi bisa direkayasa. Congor di media bisa dibeli. Iklan yang bagus-bagus bisa disebar.  Tampilan religius bisa dibuat. Tapi ingat rasa ketidakadilan itu tumbuh di masyarakat. Kesenjangan sosial itu ada. Ketidakpuasan itu nyata. 

Para pejuang kemerdekaan Indonesia tidak mati demi negara yang pada akhirnya cuma menyejahterakan segelintir pejabat kayak sekarang.

Saya kasih ilustrasi bagaimana caranya menyejahterakan pejabat dengan rangkap jabatan itu, termasuk pada saat pandemi, ketika banyak dari kita kesusahan!

***

Saya pilih acak sebagai contoh Dirjen Kekayaan Negara RS. Ia diangkat sebagai Komisaris Bank Mandiri lewat RUPS-LB 12 Agustus 2019 dan efektif sejak 12 Februari 2020. Pada 2017-2019, ia Komisaris PLN. Di Mandiri, ia menggantikan pejabat Kemenkeu juga yang pindah jadi Komisaris BNI.

Selama periode 2020-2022 (3 tahun),  jumlah komisaris Bank Mandiri 10 orang. Banyak pula yang merangkap jabatan sebagai staf khusus presiden/wapres, deputi Setkab, Deputi Kementerian BUMN, Kepala BPKP dst. 

Kalau baca berita, alasannya sedap betul. Intelektual banget. Misalnya, mengapa RS diangkat sebagai komisaris adalah untuk mengantisipasi adanya gejolak ekonomi global terhadap bisnis Bank Mandiri. 

Mules banget baca alasannya itu. Orang juga tahu jabatan itu basah. Banyak lho orang ditawari jadi dubes tidak mau dan lebih menyasar komisaris BUMN. 

Apa sebabnya? Duit!

Seorang komisaris punya tiga jenis pendapatan: gaji dan tunjangan, bonus dan tantiem, serta imbalan kerja jangka panjang. Porsi terbesar adalah bonus dan tantiem itu (bisa lebih dari 80%), apalagi di BUMN sekelas Bank Mandiri.

Saya sudah cek laporan keuangan BMRI 2020-2022 (selama RS merangkap jabatan) dan menemukan total penghasilan RS dari jabatan komisaris itu sebesar Rp64,3 miliar. (Per 2021, LHKPN RS tercatat sebesar Rp53,3 miliar. Tahun 2022 batas akhir pelaporan pada 31 Maret 2023). 

Tahun 2020, gaji dia di BMRI sebesar Rp538,5 juta/bulan, bonus dan tantiemnya Rp11,6  miliar. Tahun 2021, gaji dia Rp612 juta, bonus dan tantiemnya Rp11,08 miliar. Tahun 2022, gaji dia Rp680,6 juta, bonus dan tantiemnya Rp17,9 miliar.

Dengan penghasilan sebesar RS di BMRI itu, dia bisa pegang Rp21 miliar/tahun atau sekitar Rp1,7 miliar/bulan. Pamer sampai mampus pun bisa—tentunya setelah dipotong proposal-proposal permintaan dana dari patron politiknya yang membantunya meraih jabatan itu.

Artinya, dari bonus dan tantiem doang, dia dapat Rp40,65 miliar selama tiga tahun. Lantas, sebagai eselon I, dia masih dapat tunjangan kinerja (tukin) Rp90 jutaan/bulan. 

Kalau segini dapatnya, gaji sebagai PNS tak perlu dihitung. Buat beli lato-lato saja, ibaratnya. 

Bahkan RS itu masih punya harta juga berupa 553.200 lembar saham BMRI. Saat ini saham BMRI Rp10.050/lembar. Berarti total nilai saham yang dia punya Rp5,5 miliar.

Sudah rangkap jabatan, jadi investor pula (artinya dapat dividen dan untung dari kenaikan nilai saham).

Darimana asalnya bonus dan tantiem? Darimana bank dapat laba? Dari bunga yang dibebankan ke nasabah/debitur—masyarakat!

Mengapa selama pandemi, bank makin untung? “Ternyata perbankan memainkan spread (selisih) suku bunga kredit dan suku bunga dana sehingga NIM (Net Interest Margin) menjadi stabil. Saat volume penyaluran kredit menurun, perbankan cenderung memperbesar spread antara suku bunga kredit dan suku bunga dana untuk mempertahankan level NIM.” (Kompas, 15 Februari 2023). (Anda baca sendiri saja beritanya supaya memahami kenapa bank selalu untung jumbo, bahkan tanpa perlu sentuhan pejabat Kemenkeu sebagai komisaris)

Terbukti, kan, pandemi tidak berpengaruh terhadap penghasilan pejabat. Mereka makin kaya: gaji jalan, tantiem jalan, imbalan lain jalan, tukim jalan, investasi saham jalan. 

Masalahnya apa untungnya buat masyarakat umum dengan adanya PNS eselon I merangkap komisaris di BMRI itu? Tidak ada! Minimal tidak pantas dihargai penghasilan miliaran rupiah.

***

Halo, Presiden Jokowi. Laranglah rangkap-rangkap jabatan seperti di atas dalam segala bentuknya. Itu soal SEPELE, cuma soal harta dan tahta, bukan masalah luhur seperti perintah kitab suci, keyakinan ilahi, kehidupan kekal setelah mati, kebahagiaan rohani di surga. 

Katanya situ orang baik. 

Lihat itu di Lampung ada anak SD menangis di makam bapaknya karena sedih dagangan kuenya belum ada yang laku. Sementara pejabat tidak malu makan duit miliaran karena rangkap jabatan di negara pedih begini.

Salam Lato-Lato.

(Agustinus Edy Kristianto)

*fb

Baca juga :