Oleh: AS Laksana (sastrawan)
Sebagian orang sibuk membela Jokowi—beberapa di antaranya teman saya—dan mereka sibuk juga mencemooh orang-orang yang mempertanyakan antara lain keaslian ijazah Jokowi, seolah-olah Pak Jokowi orang yang sedang dianiaya, kondisinya mengenaskan, dan hidupnya penuh penderitaan.
Pak Jokowi sama sekali tidak menderita. Dia juga bukan orang yang dizalimi. Anaknya menjadi wakil presiden (dan wapres terbaik menurut Ade Armando), menantunya menjadi gubernur Sumatra Utara, dan anaknya yang satu lagi ketua umum partai politik. Selain itu, presiden Indonesia adalah temannya. Kapolri juga temannya. Para bohir juga temannya.
Dia masih berada di pusat jejaring kekuasaan, masih bisa membela dirinya sendiri, dan sama sekali tidak memerlukan pembelaan kalian. Justru kalian harus membela kehidupan kalian sendiri, dan kehidupan sesama warga yang menderita.
Jika Pak Jokowi memerlukan pembelaan, dia sanggup membayar pasukan buzzer, dan itu sudah dia lakukan sejak lama, dan masih dia lakukan sampai sekarang. Dia cukup kaya untuk membayar kesetiaan para buzzer.
Dengan membiayai para buzzer itulah kekuasaannya bekerja efektif. Ia memelihara, mengatur, dan menggaji mereka.
Mereka, para buzzer itu, bekerja untuk membentuk realitas yang harus kalian percaya. Mereka bisa mengubah ketidakpuasan publik menjadi penzaliman pribadi, kritik menjadi fitnah, dan pertanyaan menjadi tindakan penganiayaan. Dan para buzzer ini seperti perpanjangan dari gerak refleks tubuh Pak Jokowi. Karena itu, Pak Jokowi tidak perlu bicara dan tidak perlu menjawab pertanyaan apa pun. Dia hanya perlu ngomong, “Ituuuu... namanya...,” dan para buzzer sudah tahu harus menjawab apa dan melakukan apa.
(fb)