Apakah Hukum Perbudakan Masih Berlaku?
Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Menjawab pertanyaan yang saya screenshot di atas, perlu diberi perincian dan penalaran yang baik, tidak cukup dijawab ya atau tidak saja. Lebih-lebih, orang Indonesia terbiasa berimajinasi (baca: berkhayal) dan mengambil kesimpulan sendiri dengan jawaban "yes or no" tersebut.
Pertama, perbudakan dan hukum-hukum seputarnya disebutkan dalam nash al-Qur'an dan as-Sunnah, artinya ia punya dasar dalil yang berbicara tentangnya, sehingga semua pendapat yang dikemukakan tidak boleh menyelisihi nash-nash syar'i tersebut.
Berdasarkan nash-nash tersebut, kita bisa simpulkan, ISLAM TIDAK MENGHARAMAKAN PERBUDAKAN, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pengharaman tersebut, baik secara manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat). Namun, kita juga tidak bisa mengatakan, Islam mendorong secara aktif adanya perbudakan. Tidak ada nash yang menunjukkan hal itu.
Yang ada, nash memberikan pengaturan seputar perbudakan, yang kemudian oleh para ahli fiqih diperinci dan dibuat rumusan bakunya. Ada pengaturan soal hak dan kewajiban budak, baik dalam ibadah maupun muamalah. Ada hukum-hukum seputar kepemilikan dan jual beli budak, ada juga hukum seputar pembebasan budak, dan seterusnya.
Kedua, syariat tidak bertambah dan berkurang lagi pasca wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya, yang diwajibkan oleh nash akan terus wajib hingga akhir zaman, yang diharamkan oleh nash akan tetap haram hingga hari kiamat, demikian seterusnya. Tidak boleh seorang pun, mewajibkan sesuatu yang ditetapkan oleh nash bahwa ia tidak wajib, sebagaimana tidak boleh baginya mengharamkan sesuatu yang nash menyatakan ia tidak haram.
Hanya saja, pada sekian hukum, terdapat 'illah (alasan berlakunya hukum) yang posisi hukum mengikutinya. Jika 'illahnya tetap ada, hukumnya tetap berlaku. Sebaliknya, jika 'illahnya tidak ada, hukumnya tidak berlaku. Kemudian, banyak hukum-hukum yang lahir dari dalil-dalil zhanni (bersifat dugaan kuat, tidak sampai derajat pasti/yakin) yang membuka ruang perbedaan penafsiran dan perbedaan pendapat. Juga banyak hukum dan fatwa ulama yang ditetapkan melalui istiqra, 'urf, mashlahah mursalah, dan lain-lain, yang membuka pintu lebar untuk perubahan fatwa di masa mendatang.
Ini saya sampaikan, supaya kita tidak gebyah uyah dalam memposisikan satu hukum fiqih, karena kadar kesakralan hukum fiqih yang ditetapkan oleh nash shahih nan sharih (terang benderang) berbeda dengan hukum fiqih yang ditetapkan mengikuti 'urf (budaya) dan mashlahah mursalah (kemaslahatan).
Untuk hukum perbudakan, sebagaimana kesimpulan awal, dari semua dalil yang ada, bisa disimpulkan: Islam tidak mengharamkan perbudakan, juga tidak mendorong aktif berlakunya perbudakan.
Ketiga, mengapa Islam tidak secara tegas menghapus atau mengharamkan perbudakan? Ada banyak sisi yang bisa disampaikan untuk menjawab ini. Di sini, saya coba sebutkan dua hal di antaranya.
(1) Budak itu harta milik seseorang, yang terbilang sebagai salah satu harta paling mahal dan berharga. Keberadaan budak juga sangat membantu tuannya dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Jika Islam secara tegas menghapus dan mengharamkan perbudakan, artinya Islam dengan tiba-tiba menghilangkan hak orang lain atas hartanya tanpa ganti rugi, dan ini tidak sesuai dengan sifat syariat yang mendatangkan keadilan dan menjaga harta milik orang lain.
(2) Perbudakan ini tidak dimunculkan oleh Islam. Ia adalah konvensi internasional yang telah berlaku jauh sebelum Islam datang. Ia berkaitan dengan hukum-hukum seputar perang. Karena ia konvensi internasional, kalau Islam secara langsung menutup pintu perbudakan, sedangkan orang-orang kafir tetap memberlakukannya, maka ada timbal balik yang tidak setara dalam hubungan internasional dan hukum-hukum seputar perang, yang merugikan umat Islam.
Keempat, meski tidak secara tegas menghapus dan mengharamkan perbudakan, tapi Islam mendorong pembebasan budak, yang tidak menzalimi dua belah pihak (tuan dan budaknya). Ada banyak nash yang memotivasi pembebasan budak secara umum, dan secara khusus menjadikan pembebasan budak sebagai kaffarah (denda) atas kesalahan tertentu (semisal: kaffarah jimak di siang hari Ramadhan, kaffarah zhihar, dan seterusnya).
Jadi, Islam tidak mendorong aktif berlakunya perbudakan, malah mendorong pembebasan budak. Dan ini lebih selaras dengan ruh syariat yang menjadikan manusia setara, dan yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Namun, untuk menghindari kezaliman kepada salah satu pihak, Islam tidak mengharamkan dan menghapusnya secara langsung.
Kelima, meski perbudakan tidak diharamkan, tapi Islam tidak mendorong secara aktif berlakunya perbudakan. Dan ketika fakta perbudakan sudah tidak ada lagi saat ini, apapun sebabnya, maka tidak ada alasan yang mengharuskan umat Islam menghidupkannya kembali. Dalam konteks perang, ketika orang-orang kafir musuh perang kalah, ketentuan yang berkaitan dengannya, termasuk soal status perempuan dan anak-anak dari orang-orang kafir tersebut diserahkan pada ulil amri kaum muslimin. Dia berhak mengambil kebijakan yang paling maslahat bagi umat Islam. Artinya, dia berhak memilih untuk tidak menjadikan mereka sebagai budak, dan mengambil kebijakan lain yang lebih baik dan lebih maslahat. Ini ranahnya siyasah syar'iyyah (bab politik Islam).
Keenam, fakta perbudakan saat ini, bisa kita analogikan dengan kasus lain, yaitu seandainya di masa mendatang, entah kapan, semua dokter kandungan dan para tenaga kesehatan yang terlibat dalam persalinan adalah perempuan, karena political will (kebijakan pemerintah) dan sistem yang mendukung hal tersebut, maka kita tidak perlu lagi repot-repot membahas tentang bagaimana cara memposisikan apalagi menghadirkan kembali dokter kandungan laki-laki.
Dalam fiqih kedaruratan, keberadaan dokter kandungan laki-laki dan tenaga kesehatan laki-laki yang membantu proses persalinan, boleh hukumnya. Namun ini konteksnya kondisi darurat dan mendesak. Ketika kondisi darurat itu sudah tidak ada lagi, dan keadaan sudah menjadi ideal, tentu kita tidak perlu kembali pada kondisi kedaruratan tersebut.
Demikian pula perbudakan. Ketika perbudakan ada di tengah-tengah manusia dan menjadi konvensi internasional, Islam hadir membawa seperangkat aturan tentangnya, agar terwujud keadilan dan kemaslahatan untuk semua pihak.
Namun, ketika fakta perbudakan sudah tidak ada, itu juga tidak menyelisihi syariat, bahkan dari satu sisi itu sudah sesuai dengan prinsip syariat yang mendorong (memotivasi) pembebasan budak.
Pada kondisi ini, tidak perlu kita berwacana menghadirkan kembali fakta perbudakan tersebut. Tidak ada kebutuhan untuk itu.
(*)