PKS Masih Butuh Anies Baswedan

Oleh: Erizal

Di tengah pencarian Ketua Umum PSI dan PPP, PKS mengumumkan Ketua Umum barunya lewat sistem yang dimilikinya. Tidak hanya Ketua Umum yang berganti; kalau PKS memakai istilah Presiden Partai, tapi juga Ketua Majelis Syuro. Semua wajah baru, meski wajah lama juga di PKS. Artinya, bukan pendatang baru, apalagi orang asing. Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro yg baru, pernah jadi Presiden Partai. Lalu, Almuzzammil Yusuf, M. Kholid, dan Nurhadi. Masing-masing Presiden Partai, Sekjen, dan Bendahara. Orang lama juga di PKS.

Harus diakui, PKS menjadi satu-satunya partai yang melakukan pergantian kepemimpinan partai dengan baik dan lancar. Pimpinannya bukan Lu Lagi Lu Lagi. Satu-satunya partai lainnya, adalah Partai Golkar. Tapi Golkar dan PKS tidak sama juga. Golkar lebih terbuka daripada PKS. PKS nyaris tertutup. Tidak bisa orang sembarangan yang menjadi pimpinan di PKS. PKS tak seperti PPP, yang saat ini seperti diobral, kalau istilah Romahurmuzy, tokoh dan toke, untuk mengembalikan PPP ke DPR, setelah Pemilu lalu, terlempar dari DPR.

Pimpinan baru PKS, tanpa menunggu lama, langsung menggebrak dan menunjukkan jati dirinya. Yakni, akan temui Anies Baswedan sekaligus Presiden Prabowo. Tebar jaring rapat. Atau, main dua kaki. Tak mau tegas beroposisi, tapi tokoh oposisi didekatinya. Berarti, ada semacam pangakuan bahwa meninggalkan Anies Baswedan kemarin di Jakarta, adalah suatu kesalahan. Calon PKS tumbang di mana-mana saat Pilkada. Yang paling disorot, daerah mana lagi kalau bukan Jakarta itu sendiri dan Depok. Dua basis PKS yang porak-poranda.
Partai oposisi sebetulnya memang tak ada di Indonesia sejak reformasi. Baik PKS maupun PDIP sekalipun. Jadi partai oposisi cuma karena tak ada kadernya di kabinet. Tak ada kadernya di kabinet, bukan karena faktor ingin menjadi oposisi. Melainkan karena tak diajak atau ada faktor lainnya yang lebih personal. Itulah yang terjadi saat PDIP di luar kabinet SBY dan PKS di luar kabinet Jokowi. Jadi wajar kalau PKS tetap ingin di kabinet Prabowo, tapi pada saat yang sama juga berkomunikasi dengan Anies Baswedan. Itulah politik khas Indonesia.

Yang menarik memang bukan apakah PKS menarik diri dari kabinet Prabowo atau tetap berada dalam kabinet Prabowo. Tapi, menegaskan akan tetap berkomunikasi dengan Anies Baswedan, setelah tak mengusungnya kemarin di Jakarta, dengan alasan sudah terikat perjanjian dengan KMP Plus dan lain sebagainya. Agaknya PKS ingin mempertahankan basis suaranya yang tebal beririsan dengan Anies. PKS tak cukup berani meninggalkan Anies dan sebaliknya Anies pun ragu buat lepas dari PKS. Buktinya, Anies tak berani mendirikan partai sampai saat ini. Saling memerlukan.

Seharusnya Anies Baswedan dan Presiden Prabowo tak buru-buru menerima kunjungan pimpinan baru PKS dalam waktu dekat ini. Anies mungkin akan menunggu terlebih dulu pimpinan baru PKS bertemu dengan Presiden Prabowo. Sebaliknya, Presiden Prabowo pun mungkin akan terlebih dulu pula menunggu pertemuan antara pimpinan baru PKS dan Anies Baswedan. Dan bisa jadi, kalau PKS sudah bertemu Anies Baswedan, maka Presiden Prabowo merasa tak perlu bertemu PKS, kendati PKS termasuk anggota koalisi pemerintahan yang bergabung di ujung.

PKS sangat diuntungkan secara citra kalau bisa bertemu Presiden Prabowo dan Anies Baswedan, pada saat bersamaan. Sementara Presiden Prabowo dan Anies Baswedan tak terlalu diuntungkan. Apalagi bagi Anies Baswedan, kalau jadi mendirikan partai politik baru. Bertemu PKS, sangat merugikan Anies Baswedan, kendati silaturahmi dalam politik selalu baik-baik saja. 

Maka rencana bahwa pimpinan baru PKS akan bertemu Anies Baswedan dan Presiden Prabowo bisa jadi mengandung kontradiktif tersendiri pula. PKS ingin diuntungkan, tapi dengan cara, sadar maupun tidak, hendak mempertahankan kubu umat dan non-umat seperti yang terjadi pada Pilpres lalu.

(fb)
Baca juga :