Gimana kalau Semua Emas Papua Dikelola Pemerintah Indonesia dengan Benar? Papua Jadi Dubai Kedua

Gimana kalau Semua Emas Papua Dikelola Pemerintah Indonesia dengan Benar?
Papua Jadi Dubai Kedua

PAPUA: DARI JAJAHAN KE JERATAN

1. Era Kolonial Belanda (1828–1945)

Belanda mulai menancapkan kekuasaan atas Papua sejak 1828 melalui klaim atas wilayah Kesultanan Tidore. Papua Barat resmi masuk Hindia Belanda tahun 1901. Sejak saat itu, Belanda memulai eksplorasi sumber daya alam, termasuk dengan mengundang perusahaan asing.

Tahun 1936, ahli geologi Belanda menemukan cadangan emas dan tembaga di Grasberg—cikal bakal tambang Freeport. Namun sebelum sempat dieksploitasi besar-besaran, Perang Dunia II datang.

2. Diplomasi Pasca-Kolonial

1942–45: Papua diduduki Jepang, lalu dikembalikan ke Belanda setelah Jepang kalah.

17 Januari 1948: Perjanjian Renville menetapkan bahwa wilayah Indonesia hanya mencakup sebagian Sumatera dan Jawa-Yogyakarta. Papua tetap berada di bawah Belanda.

1949: KMB (Konferensi Meja Bundar) menyerahkan sebagian besar wilayah Hindia Belanda ke Indonesia, tetapi Belanda bersikukuh mempertahankan Papua.

1950–1960: Indonesia mencoba jalur diplomasi, namun gagal. Pada 1958, hubungan diplomatik dengan Belanda resmi diputus.

3. TRIKORA: Ketegangan Soekarno vs Hatta

Mohammad Hatta secara terbuka menyatakan bahwa Papua berbeda dari Indonesia—dari warna kulit, sejarah, budaya, hingga keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan. Bagi Hatta, Papua tidak cocok dimasukkan dalam kerangka nasionalisme Indonesia.

Namun Soekarno punya pandangan lain: seluruh wilayah bekas Hindia Belanda harus masuk NKRI. Maka, pada 19 Desember 1961, ia mengumumkan Operasi Trikora untuk “membebaskan Irian Barat”, dengan dukungan logistik Uni Soviet.
Amerika, khawatir Indonesia jatuh ke Blok Timur, menekan Belanda untuk mundur. Hasilnya: New York Agreement 1962, yang menyerahkan Papua kepada UNTEA (otoritas PBB), dan kemudian ke Indonesia tahun 1963.

4. Pepera 1969 & Awal Konflik Berkepanjangan

Alih-alih referendum umum, Pepera hanya melibatkan 1.026 “wakil rakyat” yang di bawah tekanan militer memilih bergabung dengan Indonesia. Hasilnya 100% mendukung integrasi. Banyak negara diam. Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir tak lama kemudian. Sejak saat itu, Papua menjadi wilayah konflik militer berkepanjangan hingga hari ini.

5. Freeport: Tambang Emas, Rakyat yang Tertindas

Tahun 1967, sebelum Papua benar-benar “sah” jadi bagian Indonesia (karena Pepera baru 1969), Soeharto sudah meneken Kontrak Karya dengan Freeport McMoRan, membuka pintu bagi eksploitasi tambang Grasberg.

Kontrak ini kontroversial: hanya memberi royalti 1–3% kepada Indonesia, sisanya dikuasai asing. Freeport menjadi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, tapi Papua tetap menjadi salah satu daerah termiskin.

💰 SEANDAINYA Dikelola Sendiri oleh Indonesia

Cadangan (data resmi):
• Tembaga: 38 miliar pon
• Emas: 53 juta ons

Harga pasar global (2024):
• Tembaga: ±$4/pon → Total = $152 miliar
• Emas: ±$2.000/ons → Total = $106 miliar

Total potensi kekayaan = $258 miliar

Atau dalam rupiah (kurs Rp15.800) = Rp 4.076 triliun

Jika dibagi rata:
Cukup untuk membangun Papua menjadi Dubainya Indonesia

• 280 juta penduduk → ±Rp 14,5 juta/orang

• Jika untuk 80 juta anak sekolah → ±Rp 50 juta/anak
(Cukup untuk sekolah gratis, gizi, beasiswa, bahkan modal usaha.)

Namun kenyataannya:
• 90% hasil dibawa ke luar negeri
• Indonesia dapat recehan + polusi + konflik sosial
• Warga asli Papua tetap hidup miskin di atas gunung emas

😔 Penutup: “Keluar dari Mulut Buaya, Masuk ke Mulut Singa”

Coba lihat negara negara Arab, mereka Makmur di padang Gurun hanya dengan Minyak seharusnya Indonesia cukup makmur jika bisa mengelola freeport saja, tidak perlu yang lain. Asal dikelola dengan benar.

Okelah kita tidak perlu bicara freeport, kita bahas tambang umum saja.

Kata Pak Mahfud MD cukup saja seandainya tidak ada korupsi dalam bisnis tambang, cukup tambang saja maka setiap warga dapat Rp 20 juta setiap bulannya tanpa kerja.

Bagi banyak warga Papua, kolonialisme tidak benar-benar berakhir hanya berganti wajah. Dahulu Belanda, kini Jakarta. Tanah mereka kaya, tapi mereka tetap miskin. Air jernih mengalir di pegunungan, tapi pNgopidiyyahnak tetap kosong. Tanah emas mereka hanya memberi kilau bagi konglomerat, bukan bagi anak-anak yang belum pernah menyentuh bangku sekolah.

Papua bukan hanya soal peta. Ia adalah soal rasa keadilan. Dan ketika keadilan gagal ditegakkan, tak heran jika suara-suara protes masih terus menggema dari timur, dari tanah yang disebut “surga kecil yang jatuh ke bumi” tapi jatuh ke tangan yang salah.

(fb Ngopidiyyah)

Baca juga :