Kisah Utusan Nasrani dari Najran yang Sering "Dipotong" Narasinya

Kisah Utusan Nasrani dari Najran yang Sering "Dipotong" Narasinya

Umat Nasrani dari Najran (daerah perbatasan Yaman) datang ke Madinah pada tahun 9 Hijriah. Mereka datang untuk berdialog dengan Nabi Muhammad tentang agama mereka.

Benar, para utusan Nasrani dari Najran yang datang ke Madinah itu disambut dengan penuh adab oleh Baginda Nabi shalallahu alaihi wasallam. Mereka dijamu dengan baik, bahkan dipersilakan beribadah di Masjid Nabawi.

Namun, kisah ini sering dipotong hanya sampai di penyambutannya, lalu dikemas dalam narasi bahwa dakwah Nabi itu “tidak konfrontatif”, “penuh toleransi”, dan “tidak mengusik keyakinan agama lain.” Maka, masyarakat awam pun menyimpulkan “Nabi saja tidak mempermasalahkan keyakinan agama lain, bahkan memberi tempat ibadah di masjid.”

Padahal kalau dilanjutkan kisah ini sampai akhir, kita akan melihat sosok Rasulullah yang utuh dan profesional dalam dakwah. Ya, beliau menyambut tamu dengan penuh akhlak. Tapi saat masuk ke subtansi dari kedatangan utusan Nasrani itu, beliau sangat tegas dan konfrontatif terhadap penyimpangan ajaran mereka.
Rasullullah shalallahu alaihi wasallam tidak segan menantang para pendeta itu untuk mubahalah, yakni saling berdoa kepada Allah agar melaknat pihak yang berdusta. Ini bukan gaya debat lembek. Ini apologetik-konfrontatif tingkat tinggi. Bahkan sangat spiritual, karena taruhannya adalah laknat dari langit.

Apa respon para pendeta? Mereka mundur. Karena mereka sendiri nggak yakin atas keyakinan mereka. Dan akhirnya mereka memilih untuk membayar jizyah.

Begitu berwibawa dan meyakinkan dakwah Rasullullah shalallahu alaihi wasallam, hingga orang yang sudah siap berdialog akhirnya memilih tunduk, bukan karena paksaan, tapi karena mereka tahu, mereka tidak mampu membantah kebenaran yang dihadirkan Nabi.

Kalau hari ini ada yang berkata, “Dakwah jangan terlalu apologetik-konfrontatif, nanti menyinggung,” maka perlu ditanya ulang: dakwah siapa yang Anda ikuti? Karena kalau kita mengikuti Rasulullah, justru inilah gaya dakwah beliau, beradab dalam menyambut, tapi tegas dalam membantah kebatilan.

Zakir Naik? Masih jauh. Beliau belum sampai tahap mubahalah. Tapi kalau hari ini ada da’i yang membandingkan aqidah secara terbuka lalu disebut ekstrem, maka mereka mungkin perlu baca ulang kisah Nabi dan utusan Najran dari kedatangan sampai akhir pertemuan.

(Kang Irvan Noviandana II)
Baca juga :