"ACEH TAK PERLU KE PTUN"
Halaman depan koran di Aceh berisi suara tokoh-tokoh di sana soal perampasan empat pulau.
Koran ini mampu menjangkau desa paling pelosok Aceh yang tak terjangkau media sosial.
Mereka sedang berusaha membuka mata Mendagri Tito.
Sejauh ini, tak ada orang Aceh yang tak tersinggung dengan kesemena-menaan Mendagri dalam masalah empat pulau yang diserahkan kepada Sumut.
Ada amarah yang sudah mengalir hingga ke pelosok Aceh. Amarah karena melihat tanahnya sendiri dikangkangi Mendagri dengan alasan-alasan naif.
Ini amarah yang sudah merambah jauh. Sebuah amarah yang memang dibutuhkan.
Seperti api, amarah ini bukan untuk merusak.
Paling tidak, inilah api yang perlu menyala agar tikus-tikus yang berambisi menggerogoti tanah Aceh kembali ke selokan saja.
Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, yang mengusulkan Pemerintah Aceh agar mengajukan gugatan secara hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait sengketa empat pulau di Aceh Singkil menuai sorotan berbagai pihak di Tanah Rencong.
Salah satunya berasal dari guru besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Humam Hamid.
Ia menilai langkah menggugat keputusan Mendagri ke PTUN terkait pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara bukanlah pendekatan yang tepat.
Langkah tersebut tidak perlu dilakukan karena justru bersifat naif secara politik dan reduktif secara sosiologis.
“Menyarankan Pemerintah Aceh untuk membawa sengketa pengalihan empat pulau ke PTUN adalah pendekatan yang naif secara politik dan reduktif secara sosiologis,” kata Prof. Humam, kepada koran Aceh Serambi, Rabu (11/6/2025).
Ia menjelaskan, sikap tersebut naif karena menganggap Aceh dapat diperlakukan seperti provinsi biasa, padahal Tanah Rencong memiliki latar belakang sejarah konflik panjang serta perjanjian damai yang seharusnya dihormati dan dijaga oleh pemerintah pusat.
Kemudian, kata Prof Humam, hal ini juga reduktif secara sosiologis karena mereduksi konflik identitas, kewilayahan, dan harga diri masyarakat lokal menjadi sekadar persoalan administratif dan hukum formal.
“Padahal, bagi masyarakat Aceh, pulau-pulau itu bukan hanya titik di peta, melainkan simbol dari sejarah, hak, dan martabat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof Humam juga menilai bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat ini menjadikan masalah seolah-olah netral dan teknokratis, padahal sarat muatan politik dan simbolik.
“Menganggap jalur hukum cukup menyelesaikan konflik, padahal yang dibutuhkan adalah rekognisi politik dan dialog strategis,” jelasnya.
Selain itu, ia menilai pemerintah pusat tidak membaca potensi efek domino dan konsekuensi politik dari tindakan administratif di daerah pascakonflik, terutama ketika menyangkut isu wilayah yang sensitif dan menyentuh harga diri kolektif.
Belum lagi keputusan itu juga melemahkan kredibilitas pemerintah pusat dalam menjaga komitmen terhadap otonomi khusus dan perjanjian damai, yang seharusnya dijaga dengan kehati-hatian ekstra.
“Lebih parahnya ini berisiko memperkuat narasi ketidakpercayaan masyarakat Aceh terhadap pusat, yang bisa dimobilisasi oleh aktor-aktor lokal menjadi bentuk resistensi politik atau simbolik,” jelasnya.
Komentar paling menohok juga disampaikan oleh Anggota DPR RI asal Aceh, Nazaruddin Dek Gam. Ia lantang meminta Tito Karnavian segera mengembalikan empat pulau di Singkil dalam wilayah administratif Aceh.
(sumber: SERAMBI)