Keberhasilan Maroko dalam Piala Dunia Qatar Menyatukan Bangsa Arab

Oleh: Ibnu Burdah
(Guru Besar Kajian Dunia Arab UIN Sunan Kalijaga)

Laju tim sepak bola nasional Maroko di Piala Dunia Qatar akhirnya terhenti setelah dikalahkan Prancis pada babak semifinal pada Kamis, 15 Desember lalu. Maroko masih punya kesempatan merebut gelar juara ketiga dalam pertandingan melawan Kroasia pada Sabtu, 17 Desember nanti.

Meski demikian, keberhasilan Maroko hingga masuk babak semifinal telah membuncahkan kebanggaan bangsa Arab. Apalagi tim Negeri Mentari Terbenam ini menumbangkan tim raksasa Portugal, yang diperkuat sederet pemain bintang papan atas, seperti Cristiano Ronaldo, Bruno Fernandes, Bernardo Silva, dan Joao Felix.

Keberhasilan Maroko memang jauh dari perkiraan banyak orang. Tim yang berada di "grup neraka" itu ternyata lolos secara mengesankan sebagai juara Grup F dalam babak penyisihan. Apalagi dalam grup itu ada Belgia dengan sederet bintang besar dan Kroasia, runner-up Piala Dunia 2018 yang sempat mengantarkan jenderal lapangan tengahnya, Modric, meraih gelar Ballon d'Or.

Maroko semula diperkirakan hanya sebagai penggembira. Nyatanya, mereka melesat seperti meteor ke babak semifinal. Para pemainnya, yang dilatih klub-klub top sepak bola Eropa, bertanding dengan mental pejuang imigran, salah satu kunci sukses tim nasional kerajaan yang memiliki hubungan batin sangat kuat dengan Indonesia ini. Cerita-cerita mengenai perjuangan keluarga para pemain menyertai haru biru kemenangan mereka.

Ada pula kejutan lain dari tim sepak bola Arab Saudi. Kendati akhirnya gagal melaju ke tahap berikutnya, tim Arab Saudi sempat mengalahkan tim Argentina, yang dipimpin megabintang Lionel Messi dan diprediksi sebagai kandidat terkuat untuk menjuarai perhelatan sepak bola terbesar sejagat ini.

Sontak, capaian-capaian "gila" tim-tim nasional Arab itu memicu jununisme (kegilaan) masyarakat Arab. Euforia atas kemenangan itu menembus batas-batas negara-negara Arab. Bukan hanya seantero Maroko dan Arab Saudi yang mendadak gila, masyarakat Yaman, yang notabene negaranya sedang bermusuhan dengan Arab Saudi, juga merayakan kemenangan Arab Saudi kala itu. Bahkan, publik Qatar, negara penyelenggara yang pemerintahnya masih sangat terluka oleh pemboikotan yang digalang oleh Arab Saudi beberapa tahun lalu, pun larut dalam kegilaan.

Publik Aljazair dan negara-negara Arab Barat, dari Libya hingga Mauritania, juga larut dalam jununisme itu dengan membentangkan bendera Maroko bersanding dengan bendera negaranya. Sejumlah negara tersebut seolah-olah menyatakan bahwa mereka satu hati dan bersatu meski pemerintah negara bertetangga itu selama ini bermusuhan. Aljazair, misalnya, mengalami ketegangan yang tak kunjung usai dengan Maroko karena masalah kelompok "pemberontak" Polisario dan ketegangan yang terus meningkat pasca-normalisasi hubungan Maroko-Israel. Publik sepak bola di negara-negara Arab lain juga mengalami hal yang sama.

Jununisme atas kemenangan Maroko itu telah menyatukan Arab dari bantaran Teluk Persia hingga bantaran Samudra Atlantik. Mengapa fenomena ini bisa menyeruak sedemikian rupa?

Capaian yang tak terduga itu melambungkan harapan masyarakat Arab bahwa mereka ternyata mampu melakukan sesuatu yang sangat besar, yaitu mengalahkan kandidat juara terkuat yang disokong oleh bintang-bintang mentereng. Mereka sendiri hampir tidak percaya dengan kemenangan itu. Melakukan sesuatu yang besar, yang memberi kebanggaan kepada seluruh bangsa Arab, adalah impian Arab yang diam-diam terkubur dalam sejarah panjang. Jika ada yang tampak mampu mewujudkannya, mereka akan junun untuk merayakannya.

Dari empat tim nasional negara Arab yang berlaga, hanya Maroko yang mampu lolos ke babak semifinal. Hal itu sudah sangat cukup untuk mengangkat harga diri bangsa Arab yang selama ini terpuruk.

Dalam suasana kebatinan Arab, mereka memandang dirinya begitu besar. Mereka memiliki episode sejarah klasik yang cemerlang. Konsep diri bangsa Arab memang sangat tinggi. Mereka merasa pernah menjadi "pusat" kekuasaan dunia dan punya kontribusi besar bagi peradaban umat manusia.

Suasana kebatinan itu kini sontak muncul lagi dan membantu mereka menyatakan kepada dunia siapa sebenarnya mereka. Pernyataan itu terpendam sangat lama dalam batin bangsa Arab tanpa memperoleh ekspresi yang signifikan. Selama ini bangsa Arab merasa disalahpahami dan tidak diapresiasi secara adil oleh Barat. Arab, misalnya, dianggap identik dengan konservatisme dan bahkan terorisme. Barat memandang Arab sebagai terbelakang serta tidak mengapresiasi capaian-capaian historis dan kontribusi peradaban Arab bagi umat manusia (Nydell, 2012). Dengan capaian tim Maroko, jununisme publik Arab mentakbirkan "Inilah aku, inilah Arab yang hebat dalam sejarah itu".

Arab sebenarnya tetap merasa sebagai satu-kesatuan bangsa meski mereka sudah terpecah ke dalam banyak negara. Perasaan kesatuan itu tecermin dalam berbagai karya puisi, novel, acara televisi, hingga stand up comedy. Selama ini sejarah seolah-olah mengatakan bahwa keterpecahan Arab merupakan fakta yang nyata dan persatuan Arab adalah fiksi belaka. Namun euforia kemenangan tim Arab dalam Piala Dunia kali ini telah membangkitkan kembali perasaan kesatuan yang telah tertimbun oleh berbagai peristiwa panjang. Slogan "fakhrun lana jami'an" (kebanggaan kita semua) menjadi viral setelah kemenangan Maroko dan mewakili perasaan persatuan ini.

Kunci kesatuan kebudayaan ini tentulah kesamaan bahasa. Selama ini, acara-acara televisi dan platform media sosial berperan dalam menyatukan bangsa Arab, seperti Arab Idol, Hawa Sawa, dan YouTuber Kuwait AboFlah. Persatuan Arab gagal secara politik. Ideologi Pan-Arabisme juga telah hancur berkeping-keping di tengah keterpecahan bangsa itu. Namun kebudayaan Arab berhasil mempersatukan kembali perasaan Arab, khususnya melalui budaya populer yang didukung media-media baru. Kali ini, persatuan tersebut dikukuhkan oleh capaian di lapangan hijau.

Keberhasilan Maroko telah akan menyatukan perasaan, emosi, serta menggugah impian dan kesadaran "persatuan Arab". Persatuan Arab adalah kata-kata yang selama ini sangat akrab dalam basa-basi para pemimpin, pemikir, dan bangsa Arab, tapi kosong dalam kenyataannya.

(Sumber: Koran Tempo 16/12/2022)

Baca juga :