Ijazah Palsu: Branding Palsu

Ijazah Palsu: Branding Palsu

Geng Tarnojoyo Widodo bisa aja bikin trik sulap, tetapi sayangnya sudah tidak mempan dan tidak bisa lagi menipu jutaan mata rakyat.

Sejak dirilis 18 jam lalu, dari 4359 responden on the spot, ada 3381 responden yang menertawakan, atau setara dengan 88% responden yang menilai bahwa lembaga tukang lawak bernama "Tarnojoyo" ini adalah badut yang memang patut diapresiasi. Dan cara yang tepat untuk menghormati badut adalah dengan cara menertawakannya. Bukan dengan memuji-mujinya.

Branding-branding palsu seperti ini agaknya sudah tidak perlu lagi dilakukan, karena sebagai bagian dari lembaga eksekutif yang bertindak sebagai eksekutor kiat untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap citra lembaga itu adalah melakukan tindakan konkrit yang memang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

Lembaga kepolisian itu ibarat rokok, ada manfaatnya, tetapi sudah sangat sedikit sebaliknya sangat banyak mudharatnya. Masyarakat melihatnya dari aspek historis, bahwa lembaga ini tak lebih dari ormas preman yang dilengkapi dengan berbagai persenjataan dan alutsista hanya untuk membela siapa yang bayar, bukan untuk membela mana yang benar. Alih-alih menegakkan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan, malah sebaliknya menjadi pilot utama berbagai pelanggaran hukum, jaringan kriminal dan berbagai kejahatan ekstra ordinary lainnya.

Kejahatan yang bahkan dilakukan dengan bukti-bukti yang jelas dan nyata saja bisa mereka sembunyikan sedemikian rupa dengan sangat rapi, sistematis dan presisi.

Sudahi lah. Apapun narasi dan framing yang dibangun, tidak akan menutupi fakta-fakta yang sudah bertebaran dimana-mana. Bikin malu saja.
Tidak perlu mencoba-coba lagi merancang kebenaran baru, yang kata Dahlan Iskan bahwa sekarang eranya kebenaran baru. Dan basisnya bukan lagi fakta. Karena kebenaran baru dibangun hanya berdasarkan narasi. Dan narasi itu adalah klaim berdasarkan framing. Dan itulah yang selama 10 tahun belakangan ini yang dilakukan oleh Jokowi melalui tangan kepolisian. Jadi berapapun fakta diungkapkan, kebenaran hakiki akan tertimbun oleh framing. Terlebih-lebih lagi jika framing itu terlembaga dengan sistemik. Yang nyata sebagai sebuah tindakan kejahatan, bisa dinarasikan sebagai sesuatu kebaikan. Begitu pula sebaliknya.

Maka membangun kekuatan narasi yang cermat berbasis fakta-fakta, menjadi sangat penting ditengah-tengah publik yang dikacaukan cara berfikirnya, jelas sangat diperlukan.

Itulah kenapa kami prediksi dalam beberapa tulisan berlalu, bahwa Jokowi tengah membangun narasi dengan berbagai validasi, mulai dari memanfaatkan tangan preman, tebar foto-foto pertemuan dengan sejumlah cukong, buzzer, tukang masak-masak, sejumlah redaksi media massa arus utama dan bahkan segerombolan perwira menengah Polri, semua itu dalam kerangka membentuk sebuah frame dengan tujuan untuk mendominasi opini publik lewat berbagai spekulasi terkait ijazahnya yang semakin banyak pembelaan dan pembenarannya justeru semakin menunjukkan bukti dan petunjuk kepalsuannya.

Artinya logika sehat masyarakat sebagai antitesis dan antibodi dengan segala trik sulap ala Tarnojoyo nya, sudah terbentuk.

Mau ditanya dan di prok prok prok prok kan jadi apa saja, tetap hasilnya ijazah palsu, bahkan fotocopy an nya pun palsu, jangankan fisik aslinya.

Karena dalam logika publik sudah terbentuk kerangka berfikir yang kuat sebuah narasi argumentum bahwa; sangat mustahil sebuah perguruan tinggi ternama bakal menerbitkan ijazah yang mahasiswa nya mengaku tidak mencapai IPK minimal 2,0, bahwa tidak mungkin UGM akan akan pasang badan untuk Jokowi seperti terlihat sekarang, bila para oknum pengelola perguruan tinggi itu tidak beririsan sesuatu masalah dengan Jokowi.

Sebab rumus intelnya sudah baku: TIDAK ADA ORANG ATAUPUN LEMBAGA YANG MENDUKUNG JOKOWI YANG TIDAK BERMASALAH.

Bagi masyarakat, yang memahami historikal berdirinya negara dan perjalanan serta perkembangan pemerintahan dari masa ke masa sejak era orde lama, orde baru, reformasi hingga orde sontoloyo wi wok de tok sekarang, adagium "mikul dhuwur mendem jero" yang saat ini berkonotasi menjadi tabiat buruk orang Jawa itu sekarang sudah tidak relevan dengan keadaan.

Dan tabiat buruk itu dalam skala yang lebih besar dengan cara ekstrim harus diubah. Jika ingin benar-benar membersihkan dan menyelamatkan sejara dan bangsa !

Salam Fufufafa,

(BUDI AKBAR)

Baca juga :