Catatan Made Supriatma:
Saya tertawa terkikik-kikik demi mendengar bahwa UGM ternyata memiliki mahasiswa pengusaha. Ya, sebuah organisasi pengusaha muda sekrang punya cabang di UGM.
Menyenangkan melihat kampus ini bertransformasi dari Kampus Rakyat ke Kampus (calon) Konglomerat. Memang seharus demikian. Di era pasar bebas ini, kampus harus mengikuti jaman. Kampus harus berorientasi pasar bebas.
Saya melihat akun instagram dari organisasi ini. Saya terkesan akan motonya "pengusaha pejuang, pejuang pengusaha." Sebagai orang Bali, saya tahu persis kata dasar 'juang' itu punya makna lain. "Jeg juang telahang, kanti ke susuk-susukne ..." Itu ungkapan jengkel yang artinya, "Dah, ambil aja sekalian sama kembaliannya!" Juang itu artinya mengambil paksa dan kemungkinan besar dengan tidak jujur.
Syukurlah, semboyan itu tidak bermakna bahasa Bali. Karena bisa kacau kalau iya. Tolong jangan hubungkan dengan kenyataan.
Dalam akun instagramnya (mudah2an tidak dihapus), ada pelantikan pengurus 2024-2025.
Pelantikan itu dilaksanakan di Hotel Royal Ambarukmo. Kalau Anda orang Jogja, Anda tahulah kelas hotel ini. Seingat saya, Kaesang dulu lamaran disini.
Nah, ketuanya adalah anak seorang menteri. Dan ketika pelantikan, tentu saja Bapak yang bangga akan anaknya itu datang juga. Bapaknya sendiri tidak kurang pintar dari anaknya yang bisa kuliah di UGM. Dia lulusan S3 dari UI. Oh, lulus apa belum ya? Lulus tapi sudah wisuda. Khas ungkapan rejim sebelum ini.
Kabarnya anak yang nabrak mahasiswa fakultas hukum UGM hingga meninggal dan BMW-nya ringsek itu juga anggota organisasi ini. Saya tidak tahu pastinya.
Namun, BMW ringsek ini juga membuat kekaguman saya pada bekas kampus saya itu bertambah lagi. Dulu Ashadi Siregar, mantan dosen disana dan novelis, pernah mempopulerkan kampus ini sebagai "Kampus Biru." Sekarang ternyata lebih maju lagi, karena sudah menjadi "Kampus Brio" dengan beberapa BMW atau mobil sejenis lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah artikel tentang matinya meritokrasi dalam masyarakat Amerika Serikat. Saya lupa entah baca dimana. Namun kenyataannya adalah bahwa hampir semua kampus ternama Amerika (Ivy Leagues) itu 70-80% mahasiswanya berasal dari golongan 1%.
Mereka mampu lolos tes karena memang digosok oleh orang tuanya sampai halus. Bukan nyogok. Tapi karena mereka dari kecil masuk sekolah-sekolah terbaik. Kerja sangat keras sampai bisa ke college yang prestisius. Kursus ini dan itu, ikut kompetisi olah raga atau seni, ikut volunteer ini dan itu. Tidak heran mereka menjadi nomor satu dalam kelasnya. Itu semua mahal sekali. Hanya orang tua yang mampu yang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah prestisius dari sejak mereka kecil.
Setelah selesai, anak-anak ini akan mengambil pekerjaan prestisius di McKenzie atau Goldman Sachs atau di Wall St. Gaji mereka untuk entry level bisa dua kali gaji professornya.
Meritokrasi? Ya jelas nggak ada itu. Karena kalau kowe miskin, ya jelas gak akan bisa mendidik anakmu di sekolah-sekola terbaik. Mengasah mereka menjadi rajin dan kompetitif. Jadi meritokrasi itu hanya ilusi yang hanya ditiupkan supaya kowe nggak berontak.
Itu di Amerika. Di negeri Wergeduwelwerwer ini, juga tidak ada meritokrasi. Cuma jalurnya berbeda. Pola dasarnya sama. Orang-orang kaya akan berhasil memasukkan anak-anaknya ke perguruan tinggi prestisius dan belajar untuk menjadi pejuang yang pengusaha. Kerja keras? Ya jangan terlalu keraslah. Kalau bisa licin, mengapa harus dibikin seret. Iya kan?
Intinya, saya senang akan perubahan-perubahan dalam kampus ini. Memang seharusnya kampus mendidik anak-anak yang bisa membawa sponsor perusahan lebih banyak. Gedung-gedung harus megah. Jangan lagi ada gembel mahasiswa tidur di kampus karena nggak bisa bayar kos seperti jaman saya dulu.
Dalam ilmu sosial yang saya pelajari ada istilah 'elites capture' yakni fenomena dimana para elit mengambil semua kekuasaan dan mengkonsolidasikannya di tanagn mereka sendiri dan para gedibalnya. Dan menyenangkan mengamati bagaimana orang-orang kuat ini mendidik anak-anaknya dalam organisasi kewirausahaan eh 'kepejuangan' untuk nantinya bisa memperjuang lebih banyak dan lebih berhasil dari orangtuanya. Oh, maaf, ternyata saya masih terikat dalam bahasa Bali, bahasa ibu saya.
(fb)