"The Genius of Jokowi" ???
Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Project Syndicate (6/10/2021) keluarkan artikel berjudul "The Genius of Jokowi". Penulisnya Kishore Mahbubani, peneliti tenar di Asia Research Institute National University of Singapore, penulis "Has China Won?" (2020), dan masuk 50 pemikir dunia terbaik versi Majalah Prospect 2014.
Project Syndicate adalah media non-profit berbasis di Republik Ceko, berdiri 1995. Mereka mempublikasikan analisis dan komentar terhadap isu-isu global mencakup topik terutama HAM, politik, Islam, ekonomi, dan lingkungan. Kontributornya orang-orang beken seperti Francis Fukuyama, Shinzo Abe, Bill Gates, Juan Manuel Santos, George Soros...
Tapi saya tak peduli nama besar. Saya peduli apa ocehannya! Tulisan Kishore bukan sebuah analisis kritis terhadap fakta yang sebenarnya. Tulisan itu cenderung publikasi kehumasan yang isinya puja-puji. Saya anggap tak ubahnya buzzer kelas internasional.
Sesuai judulnya, ia paparkan betapa jeniusnya Jokowi sehingga harus menjadi contoh bagi pemimpin dunia lainnya. Ia berceloteh mulai dari terpilihnya Jokowi melalui pemilu demokratis, menjembatani kesenjangan politik Indonesia, membalikkan momentum pertumbuhan partai-partai Islam menjadi inklusif, kepeduliannya terhadap kemiskinan melalui berbagai program dan regulasi seperti UU Cipta Kerja, kegigihannya mendorong proyek infrastruktur, dan keberhasilannya menciptakan kemudahan berbisnis.
Dalam kacamata pemikir itu, Jokowi tanpa cela!
Dia melihat dari sisi helikopter kapitalis global. Memperlakukan negara Indonesia seperti layaknya hedge fund memperlakukan dana klien.
Anda boleh tenar akademik setinggi langit dengan gelar pendidikan berderet panjang, tapi selama Anda tidak bisa melihat dari sudut pandang kesenjangan kaya-miskin dan bagaimana kontribusi politik-kekuasaan secara struktural menciptakan kesenjangan itu, maaf saja, Anda bodoh!
Saya berasal dari keluarga bawah tanpa pendidikan luar negeri. Saya bukan cuma wartawan yang menuliskan kejadian tetapi pelaku langsung dunia usaha. Saya membayar pajak baik pribadi maupun badan hukum. Pun menciptakan lapangan kerja. Jadi saya berbicara melalui kacamata pengalaman dan pengetahuan saya bertahun-tahun untuk menegaskan bahwa kejeniusan yang dikatakan itu bohong belaka dan sayang sekali Project Syndicate mendegradasikan reputasinya dengan penayangan itu.
Keberhasilan ekonomi yang diucapkan bukanlah kenyataan tapi ilusi. Peningkatan aset dan kekayaan hanya terjadi pada segelintir golongan atas dan menekan mayoritas golongan bawah. Kapitalisme tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat bawah tapi menciptakan kapitalisme kroni yang menguntungkan orang-orang di sekeliling kekuasaan.
Tekanan ekonomi memunculkan fakta seorang ibu 38 tahun bunuh diri karena jeratan utang 23 pinjol di Wonogiri (Tempo, 6/10/2021). Pandemi menambah jumlah pengangguran menjadi hampir 10 juta, terutama pertambahan terbanyak dari kalangan muda. UU Cipta Kerja tidak menciptakan lapangan kerja yang masif dan layak bagi rakyat. Yang terlihat pasti dan nyata dari UU Cipta Kerja saat ini adalah memberikan pekerjaan bagi Rosan Roeslani Perkasa (Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi, tim perumus RUU Cipta Kerja, bekas Ketum KADIN, bankir investasi yang juga mantan komisaris perusahaan tambang BUMI kepunyaan Bakrie) sebagai duta besar Amerika Serikat, selain memuluskan perpanjangan kontrak karya/izin perusahaan batubara milik segelintir taipan untuk puluhan tahun ke depan.
Segala jenis program bantuan sosial bukanlah solusi yang sebenarnya. Dari sekian banyak program bansos yang dikucurkan, menurut BPS, rata-rata masyarakat menerima Rp400 ribu/bulan. Dia hanya terlihat triliunan besarannya di anggaran tetapi ratusan ribuan di tangan masyarakat. Habis untuk makan, tak cukup untuk bahkan tes PCR. 50 ribu orang penerima bansos 400 ribuan jumlahnya kira-kira setara dengan tantiem setahun seorang Komisaris BUMN kelas satu seperti Telkom yang jabatannya rangkap-rangkap itu.
Uang bansos itu pun masih dikorupsi oleh Mensos pilihan sang jenius Jokowi yang berasal dari partai di mana ia adalah petugasnya!
Defisit anggaran ditutup pakai utang. Utang, yang pemerintah bahasakan sebagai utang produktif dan masih terkelola dengan baik, sesuai bahasa Menkeu yang pikirannya sangat terpengaruh kapitalisme Bank Dunia itu.
Studi terbaru dari AidData menunjukkan Indonesia memiliki 'utang terselubung' (hidden debts) kepada China sebesar US$17,8 miliar (Rp249 triliun) di bawah program China's Belt and Road Initiative.
Utang itu tidak muncul dalam neraca pemerintah karena penyalurannya melalui BUMN, bank-bank BUMN, special purpose vehicle (SPV) yang khusus dibentuk, dan swasta rekanan pemerintah. Itulah yang bisa menjelaskan kenapa ada oknum pejabat yang getol sekali kampanyekan produk China, investasi China, mobil listrik, vaksin... Bukankah itu patut diduga kuat merupakan sarang pemburu rente, pencari komisi, makelar proyek.
Pajak tidak menjadi instrumen menciptakan distribusi keadilan tapi cenderung menjadi alat tawar menawar negara dengan para taipan. Tax amnesty yang diocehkan dulu hanya sekali seumur hidup tetapi menjadi berjilid-jilid. Ia menjadi sarana para pengemplang duit negara mencuci kekayaannya. Rakyat membayar pajak, duitnya dipakai menalangi (bailout) bank dan perusahaan segelintir konglomerat yang setelah sehat barangnya diambil lagi oleh mereka. Di kemudian hari pajaknya diampuni, tanpa kita tahu ada pengusutan terhadap kasus-kasusnya.
Pandemi melandai tapi ongkosnya mahal di sisi rakyat. Jika para pejabat dan ASN masih terima gaji dan fasilitas (pun masih bisa korupsi), pekerja swasta dan sektor informal mati-matian cari makan di jalanan. Sementara perusahaan farmasi siap jualan obat Covid-19. Mereka melobi pemerintah untuk meminta klausul tidak bisa dituntut jika ada sesuatu kejadian di kemudian hari. Ada potensi besar korupsi dalam perdagangan vaksin dan obat-obatan itu seperti ditulis United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC).
Di balik perusahaan-perusahaan banyak pemain finansial besar yang mengincar untung. Sinovac dan Sinopharm, misalnya, bukan murni perusahaan China melainkan PMA. Ada Vision2020, Merrill-Lynch, EQIS Capital dkk di Sinovac; ada Vanguard Intl, DFA Investment dkk di Sinopharm; di Pfizer ada Bank of America Corporation, Vanguard dkk; di Moderna ada Blackrock Inc, Vanguard; di AstraZeneca ada Bank of America dan Vanguard dkk.
Mereka memiliki target sales dan profit yang telah ditetapkan. Pfizer dan Moderna terlihat paling agresif.
Saya kutip dari The Guardian sbb: Pfizer/BioNTech target sales 2021 US$15 miliar (Rp210 triliun) - US$30 miliar (Rp420 triliun); Moderna target sales 2021 US$18 miliar (Rp252 triliun) - US$20 miliar (Rp280 triliun); Johnson & Johnson > US$10 miliar (Rp140 triliun); AstraZeneca US$2 miliar (Rp28 triliun) - US$3 miliar (Rp42 triliun); Sinovac miliaran USD (unclear).
Apa upaya "si jenius" untuk meyakinkan kita bahwa para pejabat tidak bertindak sebagai makelar purchase order (PO) dan lobi kebijakan dengan imbalan materi yang bisa dipakai untuk membiayai kampanye Pemilu 2024?
Si jenius tidak ada upaya untuk menghilangkan kapitalisme kroni dan malah melestarikannya. Apa urusannya para menteri bertepuk tangan atas IPO Bukalapak sementara ritel dibabat habis duitnya untuk beli barang asing Rp400-an miliar di hari perdana dan nanti digoreng 8 bulan lagi karena pemegang saham lama sudah boleh jualan sahamnya? Apa urusannya BUMN Telkomsel memakan obligasi tanpa bunganya Gojek Rp6,4 triliun sementara UMKM megap-megap untuk bertahan hidup? Apa urusannya perusahaan kakak Menteri BUMN dihapuskan piutang retensinya di Rekind ratusan miliar hanya dengan kesepakatan oleh karena diduga kuat adiknya adalah Menteri BUMN?
Apa poin dari semua ini? Ya, Presiden Jokowi tidak ada jenius-jeniusnya!
Semua masih berlangsung seperti biasa. Pemodal (individu maupun korporasi kaya) mendanai aktivitas suksesi politik. Imbalannya adalah lobi kebijakan. Firma komunikasi, lembaga riset, akademisi berbayar dipinjam mulutnya untuk memublikasikan analisis-analisis yang mendukung kepentingan pemodal dan drafting peraturan perundang-undangan. Penegak hukum disiapkan untuk membantah/membela jika ada serangan. Pelobi kebijakan (yang sebagian besar juga berasal dari kalangan mantan pejabat) beraksi. Jadilah barang itu dan bisnis berlangsung menggemukkan pundi segelintir orang saja.
Jadi, asing-asing lebih baik tutup mulut.
Justru ketidakjeniusan itulah yang menjadi keunggulan dia. Kata siapa? Kata pendukungnya sendiri, kok, dalam tulisan Ben Bland yang saya tulis di status sebelum ini.
Tidak terima? Silakan somasi orang itu saja.
Simpel.
Salam.
(7/10/2021)