[PORTAL-ISLAM.ID] Kubu Moeldoko yang menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, kini dibantu oleh advokat sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, untuk mengajukan gugatan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA).
Gugatan itu diajukan untuk menggugat AD/ART Partai Demokrat 2020 yang telah disahkan Kemenkumham.
Yusril berdalih membela kubu Moeldoko demi demokrasi yang sehat.
Yusril berpendapat saat ini terdapat kekosongan hukum berupa ketiadaan otoritas negara menguji kesesuaian AD/ART partai politik dengan undang-undang. Maka dari itu, Yusril mendesak Mahkamah Agung agar mengeklaim kewenangan tersebut dan menguji AD/ART Partai Demokrat.
Yusril menilai ketiadaan ketentuan tersebut menjadi celah bagi suatu parpol untuk membuat AD/ART secara suka-suka. Padahal, seharusnya AD/ART dibuat sepresisi mungkin dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan UUD 1945.
Merespons hal ini, politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik mempertanyakan sikap Yusril.
Rachland menilai harapan Yusril agar AD/ART parpol tidak bertentangan dengan UU maka seharusnya AD/ART semua parpol semestinya diuji. Bukan hanya Partai Demokrat.
"Justru karena itu, andai benar Yusril peduli, maka ia harus memeriksa AD/ART semua partai bukan cuma Demokrat. Dalam keperluan itu, ia bisa saja memilih bertindak sebagai Profesor Tata Negara yang berjuang dengan sepenuhnya pamrih akademis. Misalnya mendorong legislative review terhadap UU Partai Politik agar kekosongan hukum yang ia sebut bisa dibahas para legislator," kata Rachland dalam keterangannya, Jumat (24/9/2021).
Namun, Yusril dianggap sengaja melewatkan partai-partai politik anggota koalisi pemerintah.
Padahal, faktanya ada partai anggota koalisi pemerintah yang memiliki struktur Majelis Tinggi, namun dengan kekuasaan yang bahkan jauh lebih besar, yakni berwenang membatalkan semua keputusan Dewan Pengurus.
"Yusril, bila meneliti, pasti juga akan menemukan AD/ART partai lain pendukung Jokowi yang mengatur KLB hanya bisa diselenggarakan atas persetujuan Ketua Dewan Pembina," sebut Rachland.
Ia pun menuding Yusril membantu Demokrat KLB Deli Serdang Moeldoko untuk mendapat keuntungan dari praktik politik hina.
"Jadi kenapa hanya Demokrat? Jawabnya, karena Yusril memihak Moeldoko dan mendapat keuntungan dari praktik politik hina yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan pada Partai Demokrat. Padahal, sebagai advokat, Yusril sebenarnya bisa menolak menjadi kuasa hukum Moeldoko tanpa berakibat pupusnya akses Moeldoko pada keadilan. Moeldoko bukan orang miskin. Duitnya mampu membeli jasa advokat lain," ungkap loyalis SBY ini.
Lebih lanjut, atas dasar itulah, Rachland menegaskan klaim netral Yusril tak bisa menutupi keberpihakannya kepada Moeldoko.
"Alih-alih kampiun demokrasi, seperti klaimnya sendiri, Yusril dalam kasus ini justru adalah kuku-kuku tajam dari praktik politik yang menindas," tutup Rachland.(*)