Nasib Umat Islam: Disurvei, Dituduh Intoleran, Lalu Dipaksakan Paham Pluralisme Agama
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tahun 2011, terbit sebuah buku berjudul Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Buku ini diberi kata 'Pengantar Ahli’ oleh seorang guru besar bidang pendidikan Islam. Sang guru besar menulis, bahwa saat ini sudah "mendesak sekali "membumikan" pendidikan Islam berwawasan pluralisme dan multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik." (hal. xiv).
Judul buku itu cukup aneh, sebenarnya. Sebab, jika pluralisme dan multikulturalisme disebut sebagai paradigma baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia, maka apakah ada paradigma lama yang harus diganti? Padahal, tahu 2005 MUI sudah mengeluarkan fatwa yang dengan tegas menyatakan, bahwa paham Pluralisme Agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam, dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya.
Jika ditelaah, isi buku ini jelas-jelas mendukung paham pluralisme agama, dalam arti menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Dalam buku ini disebutkan, bahwa diskursus pluralisme agama di Indonesia telah berkembang pesat.
"Salah satu pertandanya adalah terbit buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (2004). Buku yang ditulis 8 tokoh pembela pluralisme Islam di Indonesia ini adalah Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF, Zuhairi Misrawi, dan Mun’im A. Sirry – telah memberikan terobosan fundamental terkait dengan masalah pluralisme dari sudut pemikiran keagamaan, karena mereka telah berhasil memberikan argumen teologis bagaimana pandangan Islam terhadap agama-agama lain, termasuk dalam persoalan ibadah praktis (fikh), mulai soal doa sampai pernikahan antaragama – dan sejak ini pula, argument Islam untuk pernikahan antaragama menjadi mapan, dan telah menghasilkan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam." (hal. 124).
Jadi, buku Fiqih Lintas Agama dijadikan sebagai rujukan oleh buku '’Pluralisme dan Multikulturalisme, Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia.’’ Inilah keanehan buku ini. Sebab, buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina itu jelas-jelas mempromosikan pernikahan beda agama dan membongkar hukum Islam tentang keharaman pernikahan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
"Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya." (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), hal. 164).
Lebih keliru lagi, untuk membongkar hukum Islam secara sistematis, buku ini mengawali uraiannya dengan merendahkan martabat dan keilmuan Imam Syafii rahimahullah: "Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i." (Ibid., hal. 5).
*****
Imam Syafii adalah ulama yang agung dan sangat diakui keilmuannya oleh para ulama Islam sedunia. Tentu sangat tidak patut, Imam Syafii direndahkan martabatnya. Dalam buku itu dikatakan: "Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad.’’
Umat Islam Indonesia sedang mengalami ujian berat. Sebab, satu paham yang diharamkan MUI dan jelas-jelas bertentangan dengan aqidah Islam, justru dijadikan sebagai paradigma baru Pendidikan Agama Islam: "Kesadaran akan pentingnya pluralisme dan multikulturalisme dipandang menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik." (hal. xiv).
Penggunaan pluralisme dan multikulturalisme sebagai paradigma baru Pendidikan Agama Islam, bersamaan dengan maraknya survei-survei tentang intoleransi umat beragama. Hasilnya, menyatakan, bahwa umat Islam merupakan umat yang tidak toleran.
Sebagai contoh, dalam buku berjudul Wajah Para 'Pembela’ Islam, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010), disimpulkan bahwa kelompok Islam fundamentalis atau Islam radikal sering mengganggu kebebasan beragama/berkeyakinan warga masyarakat lain. Umat Islam, katanya, adalah umat yang tidak toleran.
Hanya saha, kriteria untuk mengukur toleran atau tidaknya suatu masyarakat, sangat tidak benar. Misalnya, kesediaan untuk menerima perpindahan agama dan penerimaan terhadap pernikahan beda agama, dijadikan sebagai tolok ukur untuk mengukur toleransi masyarakat.
Hasil survei kelompok penerbit nuku ini, menunjukkan angka, 84,13 persen masyarakat tidak suka akan pernikahan beda agama. Lalu disimpulkan: "Dari temuan survei ini terlihat bahwa untuk perbedaan identitas dalam lingkup relasi sosial yang lebih luas (berorganisasi, bertetangga, dan berteman) masyarakat Jabodetabek secara umum lebih memperlihatkan sikap toleran. Namun, dalam lingkup relasi yang lebih personal dan menyangkut keyakinan (anggota keluarga menikah dengan pemeluk agama lain atau pindah ke agama lain) sikap mereka cenderung kurang toleran." (hal. 65).
Survei itu juga menunjukkan data, bahwa orang yang beragama Islam menunjukkan penolakan yang lebih tinggi (82,6 persen) terhadap anggota keluarganya yang berpindah agama. Sementara, pemeluk agama selain Islam ada 45,4 persen yang menyatakan dapat menerima anggota keluarganya berpindah agama, karena soal agama adalah urusan pribadi. (hal. 66). Terhadap orang yang tidak beragama, hanya 25,2 persen responden yang menyatakan dapat menerima, karena menganggap agama hanyalah urusan pribadi. Terhadap fenomena ini, disimpulkan: "Singkatnya, secara umum tidak ada toleransi atas orang-orang yang tidak beragama. Tidak beragama masih dianggap sebagai sebuah tabu yang tidak dapat ditoleransi di mata kaum urban Jabodetabek." (hal. 67).
Hasil survei semacam itu lalu dijadikan bahan untuk menyimpulan, bahwa umat Islam adalah umat yang tidak toleran. Lalu diberikan komentar: "Temuan ini mengindikasikan adanya kecenderungan sikap keagamaan yang intoleran pada masyarakat Jabodetabek. Agar tidak mengakibatkan kerancuan pemahaman, maka perlu digarisbawahi bahwa kecenderungan toleran untuk beberapa hal, namun intoleran untuk sejumlah hal lain sebagaimana ditunjukkan oleh temuan survei ini, tetap harus dinyatakan sebagai ekspresi sikap intoleran. Hal ini didasarkan atas pengertian toleransi sebagai kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Atas dasar itu, kegagalan untuk dapat menerima perbedaan identitas secara utuh sama maknanya dengan sikap intoleran." (hal. 75).
Inilah nasib umat Islam: disurvei, dituduh tidak toleran, lalu disuruh mengubah paradigma pendidikannya! Semoga Allah SWT menolong dan melindungi umat Islam Indonesia, dari berbagai serangan, khususnya serangan pemikiran yang bisa merusak keimanan dan akhlak kaum muslim.
(Depok, 26 September 2021)