POLITIK KASTA RENDAH
Ada teman kirim WA meminta pendapat saya soal berita pejabat yang sidak di jalan Jend Sudirman, biasanya sepi pengemis, tetapi tiba-tiba banyak peminta bergerombol, pengemis dadakan, diduga rekayasa demi sang pejabat.
Kejadian semacam itu bukan hal baru. Sejak jaman Machiavelli tempo dulu sudah ada, sebab kata tokoh Italia tersebut “politik menghalalkan segala cara”. Trik pejabat tsb tergolong lumrah, tidak ada unsur kekerasan, meski kurang terpuji dari segi moral karena mengandung rekayasa tergolong murahan karena eksploitasi masyarakat yang termarginalkan.
Politik juga sering diartikan intrik (dasisah) dan bahkan diartikan muslihat/licik (khid’ah) atau akal akalan yang penting menang, tujuan tercapai. Tinggal kata hati masing masing.
Dalam era demokrasi, konotasi negatip politik itu tidak hilang, pada hal nilai nilai demokrasi mengajarkan kebebasan sejajar dengan keadilan, persamaan dan persaudaraan. Bahkan ditambah lagi unsur penghormatan terhadap HAM dan menghindari cara kekerasan. Tetapi prakteknya terkadang tidak seperti itu.
Terlebih lagi pada era medsos atau paska kebenaran (post truth), pencitraan menjadi elemen penting dalam politik. Misalnya dalam pemilu presiden di Amerika Serikat, meskipun perolehan suara Trump kalah, masih ngeyel dg berbagai macam intrik mengaku menang. Timbullah drama politik yang lucu lucu.
Makanya para ulama membagi politik menjadi dua yaitu politik kasta rendah (siyasah safilah) - politik semata untuk mencari kekuasaan belaka dan satunya lagi politik kasta tinggi (siyasah ‘Aliyah)- politik yang mengutamakan kemaslahatan bangsa atau masyarakat.
Jadi selalu ada pilihan, terserah anda. Yang jelas Panca Sila mengajarkan politik yang etis dan bahkan relijius.
(KH As'ad Said Ali)