Bintang Mahaputera, "Suap Politik" Untuk Gatot Nurmantyo?

Bintang Mahaputera, "Suap Politik"  Untuk Gatot Nurmantyo?

Oleh Hersubeno Arief

Jenderal Gatot akan mendapat Bintang Mahaputera. Kabar cukup mengejutkan itu muncul dari cuitan Menkopolhukam Mahdud MD.

"Tanggal 10 dan 11 November 2020 Presiden akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (PN) dan Bintang Mahaputera (BM). “

Yang dapat gelar PN antara lain SM Amin dan Soekanto, yang dapat BM, antara lain Gatot Nurmantyo dan Arief Hidayat,” cuit Mahfud MD melalui Twitter, Selasa (3/11).

Penghargaan ini tentu saja menimbulkan spekulasi politik dan menjadi pembahasan paling seru di media.

Di media sosial analisisnya lebih seru lagi. Bebas merdeka. Mulai dari yang masuk akal, sampai yang paling tidak masuk akal.

Namun bila diamati, sebagian besar melihat penghargaan ini dengan pandangan curiga. 

Gatot bagaimanapun saat ini harus dilihat sebagai figur pemimpin kelompok oposisi yang paling vocal dan diperhitungkan,  Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Bersama Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Ketua Umum Komite Khittah NU 1926 Prof Rochmat Wahab, Gatot menjadi Presidium KAMI.

Gatot sering bersuara keras terhadap pemerintah dan pasang badan keberadaan KAMI. Secara terbuka dia menyatakan pemerintahan saat ini dikendalikan oligarki. Kekuasaan yang dkelola sekelompok orang dengan topeng konstitusi.

Pada Delarasi KAMI di Tugu Proklamasi (18/8) Gatot dengan lantang menyatakan akan bertanggungjawab secara pribadi, bila ada konskuensi hukum.

Pada Deklarasi KAMI di Bandung Gatot juga menantang aparat keamanan bila dianggap makar.

Sejak itu aktivitas Gatot bersama KAMI dihalang-halangi dan dibubarkan oleh polisi.

Yang paling menggegerkan terjadi di Surabaya. Sejumlah pengunjukrasa menghadang kegiatan KAMI. Polisi bertindak lebih jauh. Seorang perwira menengah dari Polda Jatim masuk ruangan, menghentikan Gatot yang tengah berpidato.

Belakangan terungkap pengunjukrasa mengaku sebagai massa bayaran.

Tidak cukup hanya sekedar menghalang-halangi dan membubarkan kegiatan, polisi bertindak semakin keras. 

Sejumlah petinggi  KAMI, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan Anton Permana ditangkap. Di beberapa daerah aktivis KAMI juga harus berurusan dengan polisi.

Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani semula juga mau ditangkap polisi. Namun urung karena Ahmad Yani menolak dan melakukan perlawanan.

Belakangan Ahmad Yani dipanggil kembali Bareskrim Polri dengan status sebagai saksi.

Belum jelas bagaimana status Ahmad Yani. Apakah hanya sebatas saksi, atau statusnya ditingkatkan menjadi tersangka.

Tekanan terhadap Gatot

Penangkapan para tokoh KAMI itu selain sebagai penggembosan gerakan, juga untuk memberi tekanan psikologis dan menakut-nakuti Gatot Nurmantyo.

Dalam program ILC TV One Karni Ilyas pernah menanyakan hal itu. Apakah Gatot takut?

Dengan lugas Gatot menjawab tidak takut. Sebagai mantan Panglima TNI,  Gatot mengaku tidak bisa membayangkan apa dampaknya secara psikologis  bagi parjurit TNI dan para yuniornya, bila dia tunduk pada tekanan.

Ketika para aktivis KAMI ditangkap, Gatot juga bersikap santai. Dengan lantang dia meminta agar tidak dikasihani. “Mereka aktivis yang sudah teruji dan tahu konskuensi dari perjuangannya,” ujarnya. 

Jadi, dalam konteks itu, penganugerahan Bintang Mahaputera kepada Gatot dapat dilihat sebagai upaya lain untuk menundukkan Gatot.

Tidak mempan ditekan dengan jalan keras,  Gatot coba dirangkul. Penghargaan ini semacam gula-gula,  “suap politik”  terhadap Gatot.

Pendekatan stick and carrot. Tongkat pemukul dan wortel.

Walaupun momentumnya diberikan bersamaan dengan peringatan hari pahlawan, namun penghargaan itu terkesan tiba-tiba! Ujug-ujug!

Kalau diberikan dalam kapasitas Gatot sebagai mantan Panglima TNI, mengapa baru diberikan sekarang? 

Gatot diganti  pada bulan Desember 2017. Sudah hampir tiga tahun berlalu. Pergantiannya kala itu juga terkesan mendadak. Belum waktunya pensiun.

Penggantian Gatot juga dibarengi spekulasi karena dia sering tidak sejalan dan berseberangan dengan Jokowi. Salah satunya  dalam isu kebangkitan kembali PKI.

Gatot kala itu memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng Film G 30 S PKI. Sebuah perintah yang terkesan menantang PDIP sebagai partai penguasa,  sekaligus pengusung Jokowi.

Pola merangkul lawan politik ini sebelumnya juga pernah dilakukan pemerintahan Jokowi. Dua orang mantan wakil ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadlizon juga mendapat penghargaan serupa.

Penghargaan diberikan bersamaan peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-75 bulan Agustus lalu. Infonya juga lebih dulu dibocorkan oleh Mahfud MD.

Duo F —begitu Fahri dan Fadli biasa dipanggil— selama ini selalu menyampaikan kritik keras terhadap pemerintahan Jokowi.

Penghargaan ini sebenarnya biasa saja. Diberikan kepada para mantan pemimpin lembaga negara. Namun dimanfaatkan untuk kepentingan strategi dan komunikasi politik.

Bagaimana sikap Gatot? Apakah dia akan menerima penghargaan itu, atau menolaknya?

Posisi Gatot jelas sangat dilematis. Sangat ironis bila dia bersedia menerima penghargaan dari sebuah rezim yang memenjarakan para aktivis yang berjuang bersamanya di KAMI.

Sebagai seorang komandan, dia pasti sadar tengah dipisahkan dari pasukannya. Dia sedang dilumpuhkan. Kekuatannya sedang dilucuti.

Sikap ini bisa meruntuhkan moral, sekaligus memecah belah kekuatan KAMI.

Sebaliknya bila menolak, Gatot benar-benar menunjukkan sikap berdiri diametral berhadapan dengan pemerintah. Risikonya pemerintah bisa bertindak lebih keras. Sangat mungkin Gatot sendiri yang akan menjadi targetnya.

Di sisi mana Anda akan berdiri Pak Jenderal?!

[End]

Baca juga :