[PORTAL-ISLAM.ID] Setelah 130 hari, Elon Musk mengumumkan bahwa ia akan meninggalkan pemerintahan Trump setelah kontraknya sebagai kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) berakhir.
Elon memainkan peran utama dalam kemenangan Trump tahun lalu. Selain miliaran dolar yang ia belanjakan untuk "membeli suara", ia juga memiliki Twitter (sekarang X).
Dengan platform X, propaganda pro-Trump menyebar dengan mudah dan membantu Trump menang.
Dari sana, Elon mulai merasa seperti penentu kemenangan. Ia merasa bahwa siapa pun yang ia dukung dapat menang.
Ia mencoba membawa pengaruh itu ke Jerman, mendukung Alternatif untuk Jerman (AfD), partai populis sayap kanan yang anti-imigran dan anti-UE. Namun, hal itu gagal.
Ia juga mencoba memanfaatkan kerusuhan di Inggris. Ia mencoba menggalang dana untuk mendirikan partai Reformasi Inggris, partai populis sayap kanan lainnya. Namun, hal itu juga gagal.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya tidak berhasil, tetapi juga merusak reputasinya sendiri dan perusahaannya, termasuk merek Tesla.
Orang Jerman dan Eropa yang muak dengan Elon memboikot Tesla dan beralih ke BYD mobil listrik dari China, yang menyebabkan penjualan Tesla anjlok.
Misi DOGE (efisisensi pemerintah) milik Elon juga ke laut (tak tau rimbanya lagi).
Setelah Trump menang, Elon tidak meminta untuk menjadi menteri keuangan atau menteri pertahanan.
Ia hanya ingin mengepalai departemen khusus bernama DOGE untuk mengurangi utang pemerintah, mengikuti model ekonomi libertarian Argentina di bawah pemerintahan Javier Milei.
Para penganut paham libertarian ini percaya bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian. Sangat berbeda dengan mazhab ekonomi Malaysia yang melihat pemerintah sebagai pihak yang membantu dan merangsang perekonomian.
Bagi kaum libertarian, anggaran pemerintah harus dikurangi, termasuk belanja kesejahteraan dan layanan publik.
Salah satu target utama Elon adalah USAID, lembaga yang selama ini menjadi alat utama Amerika untuk menyebarkan pengaruhnya ke negara-negara berkembang melalui bantuan dan program.
Keputusan pemotongan anggaran USAID telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Banyak yang mulai berpikir bahwa Elon sama buruknya dengan Trump.
Bahkan, sebagian orang percaya bahwa Elon sebenarnya mengendalikan Trump. Namun kenyataannya, Trump hanya menggunakan Elon sebagai tameng.
Ketika orang-orang marah tentang pemotongan anggaran, mereka menyalahkan Elon, bukan Trump, meskipun Trump sendiri sebenarnya ingin memotong anggaran.
Ada banyak hal aneh lain yang ingin dilakukan Elon dengan DOGE, termasuk mengaudit cadangan emas pemerintah AS di Fort Knox, untuk memastikan bahwa emas itu benar-benar ada.
Namun, semua ini tidak punya waktu untuk terjadi, karena kontraknya telah berakhir, dan tidak ada peran baru yang diberikan kepadanya.
Alasannya jelas: ia tidak lagi disukai Trump.
Dulu, ia selalu terlihat bersama Trump. Kini, hubungan mereka menjadi dingin.
Karena Elon melanggar prinsip utama dalam politik, yang disebutkan dalam buku 48 Laws of Power:
"Jangan pernah mengungguli tuannya."
Dalam politik (dan juga di tempat kerja), jangan pernah menunjukkan kekuasaan lebih besar daripada atasan Anda, terutama jika Anda adalah orang nomor 2 setelah atasan.
Jika Anda melakukannya, bersiaplah untuk disingkirkan.
Prinsip ini juga berlaku dalam geopolitik.
Misalnya: Amerika berperang melawan China karena China kini menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua.
Namun saat itu, pada 1980-an, Amerika tidak menganggap China sebagai ancaman. Sebaliknya, Amerika berfokus menyerang ekonomi Jepang, karena Jepang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua saat itu.
Tentu saja, para politisi ini akan selalu waspada terhadap orang nomor 2, karena orang nomor 2 akan menggantikan orang nomor 1 jika terjadi sesuatu.
Jadi mereka akan mencoba mengurangi kekuatan orang tersebut, terkadang mempromosikan orang nomor 3 atau 4 untuk menjatuhkan orang nomor 2.
Kemudian, ketika orang nomor 3 naik menjadi orang nomor 2 yang baru, dia juga akan disingkirkan. Siklus ini berulang sampai semua orang musnah.
Dan inilah realitas politik yang gagal dipahami Elon.
Jika Anda ingin mengatakan bahwa Elon bodoh, Anda tidak bisa. Dia benar-benar pintar dalam banyak hal. Tesla, Starlink, SpaceX, dia adalah pelopor dalam semuanya.
Tetapi politik berbeda. Politik bukanlah matematika, bukan sains, bukan teknik. Politik adalah seni.
Elon terlalu lugas. Dia suka menonjol, berpikir bahwa dengan uang dan pengaruh dia dapat duduk di posisi yang sama dengan politisi seperti Trump.
Dia telah menonjol sampai-sampai dianggap sebagai orang nomor 2 dalam pemerintahan Trump. Beberapa orang bahkan mengatakan dia adalah "presiden yang sebenarnya."
Ketika orang-orang mulai mengatakan itu, Trump mulai terkejut.
Trump adalah bos lama yang khas. Ego, tidak bisa ditegur, apalagi "diungguli".
Kalau nonton video rapat kabinet Trump, semua menterinya terus-terusan memuji dan minta maaf kepadanya. Begitulah cara bertahan hidup dengan bos seperti Trump.
Elon salah, dia pikir setelah menjabat, dia bisa berbuat sesuka hatinya dan Trump akan menerimanya.
Awalnya, mereka berdua saling memanfaatkan. Elon menjadi alat untuk menyerap amarah rakyat dan memperkuat narasi sayap kanan.
Namun ketika Elon gagal dalam eksperimen politiknya di Eropa, mulai terlihat bahwa Elon tidak sehebat itu. Trump pun mulai menjauhkan diri.
Puncaknya terjadi ketika Elon mulai membantah kebijakan tarif Trump. Dari situ, permainan berakhir.
Sejak saat itu, Elon menjadi lebih pendiam dari biasanya. Hingga akhirnya ia tenggelam.
Kini, ia mungkin kembali ke dunia asalnya (Tesla, SpaceX). Hanya saja, kini ia menanggung beban citra yang rusak akibat politik.
Ini menjadi pelajaran bagi Elon, dan bagi kita semua.
Pandai berbisnis, akademis, atau teknologi tidak berarti pandai berpolitik.
Elon memang ahli membuat mobil listrik, satelit, dan roket. Namun, dalam politik, ia masih pemula.
Politik adalah seni: seni membaca orang dan mempermainkan persepsi.
Hanya mereka yang benar-benar memahami hakikat manusia yang akan bertahan.
Terlepas dari itu, Elon telah menjadi trend-setter baru dan menunjukkan bagaimana pebisnis dapat langsung campur tangan dalam politik global.
Dan ini sebenarnya mengkhawatirkan, karena dapat mengancam stabilitas politik dunia di masa mendatang.
Saya telah membahas fenomena ini di bab terakhir buku saya, ADIKUASA, yang laris manis di Kuala Lumpur International Book Fair (KILBF) 2025.
Dunia sedang berubah, dan kita perlu memahami permainan kekuasaan baru yang sedang berlangsung.
Ayman Rashdan Wong
(Analis dari Malaysia)