MAKJLEB Buat Yang Ngaku Paling Pancasilais: "Selamat Datang Para "Mualaf" Pancasila, Marhaban!"


Selamat Datang Para "Mualaf" Pancasila, Marhaban! 

Oleh Hersubeno Arief*
(Kamis 01 Juni 2017)

"Mualaf" adalah sebuah kata merujuk kepada non-muslim yang berpindah keyakinan menjadi Islam. Kata yang berasal dari bahasa Arab itu telah diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut sebagai “orang yang baru masuk Islam”.

Dalam agama Kristen mereka disebut sebagai domba-domba yang tersesat dan kembali berkumpul dengan gembalanya, Yesus Kristus. Intinya adalah mereka yang baru beriman dan kembali ke jalan kebenaran.

Terminologi dalam agama tersebut sangat pas untuk menggambarkan fenomena menarik yang tengah terjadi di Indonesia sepanjang perhelatan Pilkada DKI 2017. Prosesnya tidak mendadak sontak, tapi lumayan panjang. Diawali dari sebelum masa kampanye, menjadi sangat ramai saat kampanye berlangsung dan imbasnya masih terus terjadi hingga saat ini. Momentumnya kian menaik bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni.

Jadi, jangan heran bila mendapati teman, saudara, tetangga, kenalan, kawan di kantor, atasan, ataupun orang yang sedang bermusuhan dengan Anda, tiba-tiba statusnya di medsos berubah dengan lambang Garuda Pancasila dalam kombinasi warna merah putih.

Simbol-simbol NKRI, kebhinekaan, toleransi  dan berbagai atribut nasionalisme lainnya menggantikan foto-foto narsis, foto mobil-mobil mewah atau foto hewan piaraan yang selama ini selalu menghiasi berbagai platform medsos mereka.

Namanya juga orang “baru beriman”, semangatnya sedang sangat menggebu-gebu. Mereka biasanya merasa lebih beragama, lebih beriman dibandingkan orang yang sudah lebih dulu beriman. Mereka merasa lebih Pancasila, lebih NKRI, lebih bhineka, lebih toleran dibandingkan orang yang sejak lama telah ber-Pancasila.

Tidak perlu sebal, tidak perlu marah. Kita malah harus mensyukuri “domba-domba yang tersesat” itu kembali ke gembalanya. Bila terlalu lama tersesat dan tidak dalam rombongan, mereka bisa dimakan serigala.

Dalam Islam para "mualaf" ini harus disantuni, diayomi. Pada hari raya Idul Fitri mereka termasuk dalam kelompok yang berhak mendapatkan bagian zakat fitrah, supaya dapat ikut bergembira merayakan Hari Kemenangan.

Berbeda dengan orang atau kelompok yang sudah lebih dulu “beriman” dengan Pancasila. Mereka tidak perlu gembar-gembor, pasang status, apalagi merasa paling Pancasila, paling NKRI, paling bhineka. Seperti bunyi pepatah “batang padi, makin berisi, makin tertunduk”. “Air beriak tanda tak dalam”.

Tukang mengkafirkan orang lain

Biasanya ada dua jenis orang yang menjadi mualaf. Pertama, adalah kelompok orang yang sangat menyesali diri karena lama tersesat. Kedua, kelompok yang terlalu bersemangat dalam beragama dan menilai orang lain, termasuk mereka yang sudah lebih dulu beriman, sebagai orang kafir.

Di luar dua kelompok itu, ada kelompok ketiga yang mengaku beriman, tapi sebenarnya tidak. Atau dalam agama Islam disebut sebagai kaum munafik.

Kelompok pertama biasanya ditandai dengan semangat keberagamaan yang tinggi. Mereka lebih aktif beribadah, baik ibadah ritual, maupun ibadah sosial. Mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah keliru, telah tesesat jauh dari jalan Tuhan. Mereka menjadi lebih ramah, lebih baik dan wajahnya berseri-seri.

Kelompok kedua adalah kelompok yang merasa paling beragama dan bahayanya menganggap orang lain sebagai kafir. Dalam khazanah pemikiran Islam orang-orang seperti ini disebut sebagai takfiri. Yang menganggap orang lain kafir, padahal sesama Islam. Menganggap praktik beragama orang lain tidak benar. Yang paling benar adalah mereka.

Fenomena ini juga belakangan sangat terasa dari perilaku para “mualaf” Pancasila. Mereka menilai orang lain tidak Pancasilais. Bagi yang paham sebuah proses “keimanan” tahapan seperti ini sesungguhnya biasa saja. Cukup disambut dengan senyum dikulum. Biarkan proses alam berlangsung dan tinggal menunggu sampai berapa lama mereka bertahan.

Masalahnya, kelompok “takfiri” Pancasila ini ulahnya sudah mulai keterlaluan. Mereka tidak sekadar mengkafirkan Pancasila-nya kelompok lain, tapi mereka sudah mencoba memaksa mendorong kelompok Pancasilais sejati sebagai kelompok yang tidak cinta Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Sebagai penumpang baru, mereka mencoba mendorong penumpang lama ke luar perahu. Kalau perlu sampai tecebur ke laut. Nah, ini kan sudah gawat.

Wajar bila kemudian muncul reaksi dan perlawanan, dari mulai perlawanan yang ringan dengan ucapan, “Selama ini lu kemana aja sih?”, sampai reaksi yang lebih keras, “Waktu revolusi kemerdekaan dulu apa peran engkong lu? Engkong gua berjuang mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Sementara engkong lu menjadi kolaborator penjajah. Kok sekarang tiba-tiba lu menjadi paling Pancasila. Ngaca deh!”

Kelompok kaum munafik

Kelompok ini adalah kelompok yang paling berbahaya. Mereka mengaku beriman, tapi sesungguhnya punya niat terselubung. Ingin merusak dari dalam. Dalam Islam kaum munafik ini hukumnya wajib diperangi! Gawat!

Mengapa hukum terhadap para munafik sangat berat? Karena kaum munafik ini adalah musuh dalam selimut, menggunting dalam lipatan. Mereka mengaku Pancasila bahkan merasa paling Pancasila, tapi kelakuannya sangat jauh dari praktik Pancasila yang baik dan benar.

Mereka mengaku Pancasilais hanya untuk kepentingan politis. Hanya untuk memenangkan pilkada atau mungkin pilpres. Pola hidup dan perilakunya sungguh jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Tes kesetiaan Pancasila

Mari bergandeng tangan. Negara ini terlalu besar hanya untuk diurus sekelompok orang maupun golongan. Bangsa ini dianugerahi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa ribuan pulau, suku, bangsa dan bahasa. Secara fitrah kita ditakdirkan berbeda untuk bersatu. Cari titik persamaannya, bukan perbedaannya.

Untuk mengecek apakah seseorang benar-benar Pancasila atau sekedar “munafik” Pancasila, gampang kok alat ukurnya. Coba minta mereka menyebutkan urut-urutan Pancasila. Kalau tidak hafal berarti mereka hanya mengaku-ngaku Pancasilais. Mendadak Pancasila.

Kalau mereka hafal di luar kepala sila-sila dalam Pancasila bahkan sampai sesuai urutannya, masih perlu dites lagi. Apakah perilaku dan pola hidupnya sesuai dengan Pancasila?

Mari kita mulai dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa? Kelompok yang masih mengagung-agungkan PKI, menginginkan PKI berjaya kembali di Indonesia, kelompok atheis, kelompok liberal yang menganggap agama telah ketinggalan zaman, kelompok yang mengaku beragama, tapi tidak menjalankan agamanya dengan baik, adalah kelompok yang tidak sesuai dengan sila pertama.

Mereka tidak berhak mengaku sebagai Pancasilais. Jadi mereka tidak lulus tes. Mulai sekarang copot profile picture lambang Garuda Pancasila dari medsos Anda.

Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Orang-orang yang memperlakukan manusia lain secara tidak adil dan beradab, jangan pernah mengaku Pancasila. Siapa saja mereka? Mulai dari para pejabat yang melakukan penggusuran sewenang-wenang, aparat hukum yang tidak adil, para majikan dan bos yang memperlakukan pembantunya dengan seenaknya, para pengusaha yang memeras para pekerja dan membayar upahnya dengan rendah, pendukung hubungan sejenis. Semuanya kelompok tadi tidak sesuai dengan butir-butir Pancasila.

Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Kelompok-kelompok yang menyalakan lilin di berbagai kota dan belahan dunia sambil melaporkan Indonesia sebagai negara pelanggar HAM ke lembaga-lembaga internasional, berteriak-teriak ketika adzan sedang dikumandangkan dari sebuah masjid, menilai orang lain tidak NKRI, tidak bhineka dan kelompok sejenis lainnya, adalah kelompok yang bertentangan dengan butir sila ketiga. Mereka ini adalah ancaman bagi integrasi bangsa.

Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Kelompok-kelompok yang tidak mengakui suara rakyat sebagai suara yang berdaulat, kelompok yang tidak mengakui eksistensi partai sebagai sistem perwakilan rakyat  termasuk kelompok yang tidak memahami butir sila keempat. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang setiap kali ada pilkada memilih kabur ke luar kota atau ke luar negeri. Sekali-kalinya ikut pilkada dan jagoannya kalah, ngambeknya sampai kemana-mana.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Orang-orang atau kelompok-kelompok yang sangat kaya dan masih serakah menilap dana BLBI, kemudian kabur ke luar negeri adalah kelompok yang tidak sesuai dengan nilai butir sila kelima. Kelompok yang menguasai tanah jutaan hektar sementara banyak petani yang tidak memiliki tanah, kelompok yang melakukan reklamasi pantai meggusur ribuan nelayan, kelompok yang membuka pasar-pasar modern dan mart-mart yang mematikan usaha kecil menengah, adalah orang yang tidak mengamalkan sila kelima.

Mereka yang mempunyai rumah berpagar tinggi, dijaga anjing galak, tidak kenal tetangga, rapat warga tidak pernah datang, kerja bakti/gotong royong warga tidak pernah muncul ini adalah orang atau kelompok yang bertentangan dengan butir sila kelima.

Semua kelompok maupun orang-orang tadi, kalau tiba-tiba mengaku paling Pancasila, jangan percaya! Gampang kan untuk menguji siapa yang Pancasilais dan siapa yang tidak?

Tidak perlu sesama anak bangsa saling klaim merasa dirinya paling Pancasilais, paling membela NKRI.

Mari bergandeng tangan. Negara ini terlalu besar hanya untuk diurus sekelompok orang maupun golongan. Bangsa ini dianugerahi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa ribuan pulau, suku, bangsa dan bahasa. Secara fitrah kita ditakdirkan berbeda untuk bersatu. Cari titik persamaannya, bukan perbedaannya.

Mari kita sambut para “mualaf Pancasila” ini dengan tangan terbuka. Mumpung kita sedang memperingati libur hari lahirnya Pancasila bertepatan dengan bulan Ramadhan pula,  mari ucapkan “Marhaban ya para mualaf Pancasila. Kalian adalah anak bangsa, seperti kami juga.”

*Sumber: https://kumparan.com/hersubeno-arief/selamat-datang-para-mualaf-pancasila-marhaban



Baca juga :