Laporan Tempo dari Gaza: Berteman dengan Bom

TEMPO Interaktif, Rafah: Di Rafah, bom bisa datang sesukanya. Dia bisa nyelonong saat siang bolong atau kala pagi masih menggigil. Tak ada tanda pasti kapan bom akan menyatroni wilayah perbatasan Palestina dengan Mesir itu. Meski bom datang silih berganti, sore itu koresponden Tempo, Akbar Pribadi Brahmana Aji, tetap nekat berusaha masuk ke Gaza. Sudah seminggu upaya ini ditempuh, tapi gagal. Perbatasan ditutup rapat. Buntu. Inilah laporannya:

Sore itu mestinya sore yang nikmat untuk tetirah atau menyeruput teh. Tapi saya memutuskan kembali meluncur dari Al Aris, kota terdekat dari perbatasan yang jaraknya 50 kilometer, menuju Rafah dengan taksi.

Belum juga sampai ke Rafah, tiba-tiba pandangan saya dikejutkan oleh rombongan truk-truk pembawa bantuan untuk Palestina yang berbalik arah. Seribu pertanyaan berputar di kepala: ada apa?
"Itu berarti keadaan di dalam (Gaza) tidak memungkinkan truk-truk bantuan itu masuk,โ€ kata sopir taksi yang membawa saya dari Al-Aris. "Sehingga mereka harus beristirahat dulu di Al-Aris."

Di gerbang perbatasan, saya bergabung dengan dua wartawan Maroko yang berusaha mendapatkan izin masuk ke Gaza. Tapi polisi Mesir yang bertugas tetap menggeleng. "Keselamatan Anda tanggung jawab kami, jadi lebih baik Anda datang besok pagi-pagi. Kalau memang keadaan di dalam memungkinkan, Anda kami persilakan masuk," kata polisi itu.

Saya mulai meninggalkan polisi keras kepala yang masih berdebat dengan dua jurnalis itu. Tiba-tiba, blaaar! Suara keras datang seperti merobek telinga, mengguncang jantung. Badan saya bergetar.

Duh, bom itu jatuh hanya 200 meter dari saya. Dua wartawan Maroko lari, kebingungan menyelamatkan diri. Di langit terlihat gumpalan asap kelabu dan api yang berpijar-pijar. Suara bom seperti mencopot seluruh engsel tulang saya. Kaki saya lemas.

Saya lihat ada yang aneh: hanya kami bertiga yang sibuk sembunyi. Orang-orang di perbatasan itu memandangi kami sambil tertawa geli. Tampaknya mereka sudah akrab dengan dentam bom. "Bagaimana kalian mau masuk ke Gaza kalau mendengar bom dari kejauhan saja kalian bersembunyi," kata seorang polisi sambil mesem.

Setelah itu, seorang remaja Mesir mendekat dan menunjuk ke arah langit. "Itu pesawat Israel," kata pemuda berumur 13 tahun yang mempunyai saudara di Gaza. Pesawat itu suaranya berdesis-desis seperti ular derik. Sejurus kemudian, beberapa bom keluar dari lambung pesawat. Blaar. Blaar.

"Allahu akbar, Allahu akbar!" begitu orang-orang perbatasan itu berseru setiap kali bom meledak. Langit Rafah kusam oleh asap hitam. Sesekali semburat api menerangi angkasa. Suaranya membuat lemas jantung saya. Dalam hati terpikir, "Bila di perbatasan saja sengeri ini, bagaimana anak-anak bisa tidur dengan gelegar bom dan melihat ibunya bersimbah darah?"
----
Akbar Pribadi Brahmana Aji
Baca juga :