[PORTAL-ISLAM.ID] PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) merupakan organisasi pencak silat yang diinisiasi oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo pada tahun 1922.
PSHT salah satu organisasi pencak silat yang turut mendirikan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) pada 18 Mei 1948.
Tahun 2021 tercatat PSHT diikuti sekitar kurang lebih 10 juta anggota, memiliki cabang di 368 kabupaten/kota di Indonesia, 20 komisariat di perguruan tinggi dan 33 cabang khusus luar negeri di Malaysia, Belanda, Rusia (Moskwa), Timor Leste, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Belgia, dan Prancis.
Pengesahan warga baru PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) biasanya dilakukan pada bulan Muharram, mengikuti tradisi perguruan.
***
Konvoi Pengesahan PSHT: Apa Manfaatnya?
Oleh: Rijal Mumazziq Z
Sejak disahkan sebagai warga PSHT, 23 tahun lalu di Ponorogo, saya merasakan euforia pengesahan. Kami konvoi jalan kaki, ya mlaku, dari Stadion Batoro Katong hingga Mojorejo, Jetis Ponorogo. Saya nggak tahu sejak kapan konvoi bleyar bleyer knalpot ini menjadi “tradisi” yang kurang baik usai pengesahan.
Pernah, tahun 2003, saya terjebak konvoi Suroan Agung warga SH Winongo, yang dianggap rival abadi PSHT di era 2000-an. Waktu itu saya perjalanan dari Ponorogo pakai sepeda Supra X yang ada tempelan stiker PSHT di salah satu bagian depan motor. Segera jaket saya lepas dan saya tutupkan ke bagian motor itu. Saya diam di atas motor di saat konvoi melintas Pasar Dolopo Madiun. Andai para rombongan pesilat ini mengecek motor dan tahu saya bagian PSHT mungkin saya bisa babak belur, mengingat rivalitas yang panas waktu itu—dan alhamdulillah selama satu dasawarsa ini kedua organisasi yang lahir dari tangan yang sama itu mulai rukun.
Tapi setelah beberapa tahun menjadi wong njero, ada hal yang bagi saya kurang sepakati dari “tradisi” yang selama ini turun temurun dijalankan oleh saudara-saudara saya ini. Di antaranya ya konvoi apalagi pakai knalpot blong. Belum lagi beberapa kasus kekerasan di berbagai tempat, termasuk tahun lalu saat beberapa anggota memukuli polisi di Jember. Iki pite to yo? Untungnya keanggotaan sudah dicabut dan pelaku sudah diproses hukum.
Bahasan ini memang sensitif jika ditulis. Apalagi jika yang menulis Wong nJobo, wah bisa langsung diinbox sharloc tak parani. Hahaha. Tapi, ya tapi, kudu tetap ditulis. Sebab selain persaudaraan antar anggota perguruan, ada ketertiban kehidupan bersosial dan hukum. Bagi saya di atas persaudaraan masih ada kemanusiaan. Inilah yang kudu didoktrinkan.
Dalam beberapa kali pengajian kitab Nashaihul Ibad bersama para warga dan siswa PSHT se-Ranting Jombang dan Kencong Jember, ngaji isi kitab mungkin 50% saja, sisanya ya saya sampaikan pentingnya bersikap sebagai warga ideal wong PSHT, yang antara lain mewujudkan prinsip Memayu Hayuning Bawono; menjaga ketertiban kehidupan dan keselarasan alam. Kalau kita konsisten menjalankan prinsip ini, sudahlah, kita nggak menuntut penghormatan dari masyarakat, merekalah yang akan menghormati kita secara spontan dan tulus. Sebagai pesilat, nggak usah bercita cita ditakuti masyarakat, buat apa? Punya keinginan kok ditakuti orang. Eyang Surodiwirjo, Ki Hadjar Hardjo Oetomo dan Kangmas RM Imam Koesoepangat dikenang, namanya harum dan ajarannya dilestarikan bukan lantaran sikap adigang adigung adiguno, melainkan lantaran ilmu, ajaran dan kontribusinya selama ini. Jangan pernah punya cita-cita ditakuti orang, tapi punyalah keinginan mewujudkan Khairun Nas Anfa’uhum Linnas, manusia yang bermanfaat dan berkontribusi bagi sesama. Ini biasanya yang selalu saya tekankan saat ngaji bareng.
Kalau punya masalah pribadi, jangan pernah melibatkan marwah organisasi. Eman eman jika nama besar PSHT hanya dipakai buat membela urusan remeh dan masalah pribadi kita. Kalaupun fisik kecanduan bertarung dan adrenalin terpacu sebagai petarung jangan menantang orang, tapi limpahkan energi di atas ring. Ini sikap pendekar sekaligus pelestari silat sejati.
Saya sepakat dengan keputusan beberapa Ranting PSHT di berbagai wilayah Indonesia terkait perubahan arah tasyakuran warga baru: tidak lagi konvoi melainkan lebih sakral, tasyakuran internal maupun kolosal dengan menyelenggarakan shalawatan bersama-sama masyarakat.
Yang bisa menjaga marwah dan kebesaran organisasi yang berusia 103 tahun ini hanyalah orang dalam, bukan eksternal. Arahkan energi kita untuk berbuat kebaikan, untuk kemaslahatan, untuk berprestasi di kalangan sesama pesilat Nusantara, di mata masyarakat dan di hadapan Allah.
Umur kita terbatas, jangan sampai kita meninggalkan dunia dengan reputasi buruk di mata masyarakat, jangan sampai kita meninggalkan cela dan dosa jariyah, sebab tang kita inginkan adalah berpulang dengan qalbun salim, Man Atallah bi qalbin salim, mereka yang sowan kepada-Nya dengan hati yang selamat.
Ya, hati, Setia Hati…
(fb)