Oleh: Arif Wibowo
Gereja sebagai basis penggandaan umat itu dapat kita lihat misalkan pada gereja-gereja yang ada di sepanjang Kopeng - Salatiga. Salah satu aktifitas utama gereja-gereja itu adalah sebagai Pusat Pengembangan Potensi Anak.
Mereka mengundang anak disekitar gereja untuk belajar bersama, untuk menaikkan prestasi mereka di sekolah. Bukan hanya buku tapi aneka peralatan sekolah dan bea siswa juga didapat oleh anak-anak yang mengikuti program tersebut. Apabila hari Natal tiba, akan ada acara dan hadiah istimewa. Oh ya, tentu saja, ada pengajaran terselubung akan kekristenan yang rutin dilakukan.
Makanya jangan heran, ketika beberapa waktu lalu, sempat beredar, anak-anak TPQ yang ketika ditanya tentang siapa Tuhannya, mereka menjawab Tuhan Yesus. Karena kehadiran mereka lebih intens di gereja yang tentunya dengan kurikulum yang lebih dipersiapkan matang.
Ada banyak hasil yang dituai dari model penanaman Kristen berselubung les tambahan kepada anak-anak ini. Cukup banyak diantara mereka yang kemudian mendapatkan bea siswa ke sekolah Kristen dan kemudian berganti agama.
Itu sebabnya, para pegiat dakwah dari MCKS (Mualaf Centre Kota Semarang) misalnya, pada setiap hari Natal mengadakan Jambore Anak Sholeh yang dilaksanakan secara meriah sehingga anak-anak muslim di wilayah basis penginjilan itu tidak lagi mengikuti acara Natal Bersama.
Dakwah memang harus hadir di wilayah-wilayah yang ditarget menjadi daerah basis penginjilan. Ambil contoh TK PERSIS di Samirono Getasan. Selama limat tahun kehadiran TK PERSIS gratis di desa tersebut, sudah ada 23 orang yang kembali memeluk Islam. TK Kristen yang sudah lebih dulu ada tidak lagi ada muridnya dan gereja yang ada di pojok desa, pas saya ke sana beberapa waktu lalu, ada tulis "Dijual Tanpa Perantara".
Saya juga pernah menulis kisah sebuah desa yang menjadi sasaran misionarisme sejak tahun 1980-an. Desa Tumut, sebuah desa pernah mengalami masa kekosongan sholat Jum'at selama enam tahun dan juga dukuh Sepi yang masjidnya hampir roboh dan sudah tidak ada sholat Jum'at selama tiga tahun.
Ketika dakwah hadir, apalagi aktor dakwahnya adalah warga setempat, maka desa-desa tersebut kini sudah marak kegiatan dakwahnya. "Setiap tahun, ada saja yang mualaf." kata mas Arif Widodo yang saya temui, "Bahkan pada lebaran kemarin satu keluarga, semuanya kembali memeluk Islam."
"Lalu gerejanya bagaimana ?" Tanya saya, sebab di kampung itu ada dua gereja dari aliran yang berbeda. "Hampir kosong mas, kalau dari dusun sini tinggal empat keluarga yang masih ke gereja."
Apa yang saya lihat di desa Sepi itu makin meyakinkan saya, bahwa resep utama penanggulangan kristenisasi ya menghadirkan dakwah di wilayah yang sama. Tentu saja saja dengan catatan, yang hadir bukan dakwah yang berwajah konflik khilafiah, tapi dakwah yang bersifat melayani kebutuhan umat.
(*foto ilustrasi kegiatan TPQ)