Kesaksian Sejarah:
Islam dan Minoritas
Oleh: Dr. Laila (Aktivis Kemanusiaan Kristen Suriah)
Sebelum penaklukan Islam, masyarakat Arab Kristen di Syam (Levant) dan Mesir hidup di bawah penindasan pendudukan Romawi-Bizantium, dalam sistem yang represif dan tidak adil yang membebani mereka dengan kezaliman yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.
Pajak selangit yang diberlakukan oleh Romawi menghancurkan kehidupan orang miskin dan melarat. Pajak tersebut tidak hanya menguras harta orang hidup, tetapi dalam praktik historis yang mengerikan, juga dikenakan pada orang mati, di mana jenazah tidak boleh dikubur sampai ahli warisnya membayar pajak khusus.
Kenyataan pahit ini menjadikan hidup di bawah pemerintahan Romawi sebagai neraka yang tak tertahankan, di mana orang-orang Arab Kristen di Syam dan Mesir menghadapi penindasan agama dan sosial yang sistematis. Di Mesir, umat kristen Koptik menghadapi penindasan brutal, di mana Romawi menargetkan para pemimpin agama dan masyarakat mereka dengan pembunuhan dan penyiksaan.
Sebagai contoh, umat kristen Koptik menderita akibat kebijakan Kaisar Bizantium Yustinianus dan para penerusnya, yang mencoba memaksakan doktrin Kalsedon dengan kekerasan, menyebabkan pengasingan para pemimpin seperti Paus Teodosius I, Patriark Koptik, ke Konstantinopel pada tahun 536 M, dan pengangkatan patriark yang setia kepada Kekaisaran.
Penindasan ini mendorong umat Koptik untuk melarikan diri ke padang pasir, di mana mereka mendirikan biara-biara terpencil seperti Biara Santo Antonius dan Biara Santo Paulus, untuk mempertahankan keyakinan dan kehidupan mereka jauh dari kekejaman Romawi.
Sementara itu, di Syam, orang-orang Arab Kristen, seperti suku Ghassan, menderita diskriminasi dan penindasan oleh Kekaisaran Bizantium, yang memberlakukan pajak berat pada mereka dan meremehkan status mereka sebagai sekutu. Meskipun berperan sebagai benteng pertahanan melawan invasi, bangsa Ghassan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, yang meningkatkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintahan Romawi.
Dengan datangnya fajar penaklukan Islam pada abad ke-7 Masehi, persamaan berubah secara radikal. Tentara Islam yang dipimpin oleh Khalid bin Walid di Syam dan Amr bin Ash di Mesir datang untuk mengakhiri berabad-abad penindasan Romawi.
Di Mesir, pertempuran Al-Arish pada tahun 639 M menandai awal pembebasan, di mana umat Koptik menyambut kaum Muslim sebagai pembebas dari penindasan Bizantium. Sejarawan Koptik Yohanes dari Nikiû mendokumentasikan perubahan ini, menunjukkan bahwa kaum Muslim mengembalikan keamanan dan keadilan, serta meringankan beban pajak yang sangat besar yang telah dikenakan pada penduduk.
Di Syam, setelah Pertempuran Yarmuk pada tahun 636 M, orang Kristen diberi kebebasan untuk menjalankan agama mereka, pajak-pajak yang tidak adil dihapuskan, dan diganti dengan sistem jizyah yang bebannya lebih ringan dan lebih adil. Penaklukan Islam bukan hanya perubahan politik, tetapi juga revolusi peradaban yang mengembalikan martabat bagi orang-orang Arab Kristen.
Para sejarawan Kristen, seperti Sophronius, Patriark Yerusalem, menyaksikan toleransi yang ditunjukkan oleh kaum Muslim, di mana mereka mengizinkan orang Kristen untuk mempertahankan gereja-gereja mereka dan menjalankan ritual mereka dengan bebas. Toleransi ini terwujud dalam dokumen "Perjanjian Umar" (al'Uhdad al'Umariyah) yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yang menjamin perlindungan dan hak-hak umat Kristen.
Dengan demikian, penaklukan Islam mengakhiri era penindasan Romawi dan membuka lembaran baru koeksistensi dan keadilan, di mana orang-orang Arab Kristen di Syam dan Mesir hidup dalam keamanan dan kedamaian, mendokumentasikan sendiri transformasi besar yang mengembalikan martabat dan kemanusiaan mereka.
Kami, sebagai Kristen Arab, tidak takut akan kembalinya kekuasaan Muslim di Suriah, karena kami telah hidup berdampingan dengan mereka selama 1.400 tahun. Namun, kami takut akan fitnah yang diatur oleh musuh-musuh Suriah dari dalam—sisa-sisa rezim dan pengikut mereka—dan dari luar—musuh kemanusiaan. (*)