SESAT PIKIR GUBERNUR KONTEN
Oleh: Fitriyan Zamzami
Yang disampaikan oleh Dedi Mulyadi sang gubernur Jawa Barat, sedianya tak hadir dari ruang kosong. Ia adalah cerminan soal bagaimana negara dan aparaturnya memandang kemiskinan. Sebuah cara pandang yang di permukaan nampaknya benar tapi sedianya lahir dari kesesatan dan kemalasan berpikir.
Sejumlah studi berlandaskan sensus nasional memang menunjukkan bahwa banyaknya anggota rumah tangga ada korelasi dengan kemiskinan. Namun ia bukan faktor satu-satunya. Ada faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan di sana.
Kalau bicara faktor sebab akibat, kemiskinan juga bukan faktor utama penentu pasangan punya banyak anak. Terbatasnya akses pendidikan tinggi, misalnya, membuat perempuan berhenti sekolah pada usia muda dan menikah dini dan akhirnya lebih banyak punya anak ketimbang yang menikah belakangan. Selain itu, akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas juga membuat perencanaan keluarga tak tersosialisasi pada khalayak yang lebih luas.
Artinya, orang-orang miskin tak semata punya anak banyak karena kemauan tapi juga karena struktur pendidikan dan kesehatan yang muncul dari ketidakbecusan mereka-mereka di pemerintahan. Adalah kebiasaan pemerintah, untuk menutupi ketidakmampuan mereka ini dengan mengindikasikan bahwa orang-orang miskin sepenuhnya karena kesalahan sendiri.
Sesat pikir selanjutnya, adalah asumsi bahwa bantuan sosial dan segala subsidi untuk orang miskin ini hadiah tiba-tiba dari pemerintah. Padahal, uangnya dari pajak yang disetorkan rakyat dan pihak swasta di Tanah Air, bukan uang “punya” mereka. “Bantuan Pemerintah” adalah salah satu kebohongan paling besar pejabat negara karena pada dasarnya pemerintah hanya menyalurkan uang yang asalnya ya dari masyarakat juga. Kalau ndak ditilep pejabat kanan-kiri, kalau ndak salah urus, dana yang kita setorkan itu sangat cukup untuk membenahi pendidikan dan kesehatan, kemudian mengurangi kemiskinan
Soal vasektomi keluarga miskin ini juga terkait asumsi bahwa Indonesia kebanyakan penduduk. Data menunjukkan sebaliknya. Merujuk BPS, tingkat fertilitas total (TFR) Indonesia sudah merosot belakangan. Pada 1970-an, pasangan-pasangan di Indonesia rerata memiliki 5,61 anak. Jumlah ini anjlok menjadi rata-rata 2,18 anak pada 2020.
Angka tersebut ada di tubir keseimbangan populasi. Para demograf menyimpulkan, tingkat fertilitas yang ideal untuk komunitas tertentu yang disebut "replacement level" atau "tingkat penggantian" adalah 2,1 anak per perempuan. Dengan angka itu, anak-anak yang lahir cukup untuk menggantikan mereka yang meninggal di populasi tertentu.
Bagaimanapun, tanpa data-data itu pun, vasektomi secara paksa sebagai syarat penerimaan bansos yang diwacanakan Dedi Mulyadi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Dalam Islam ia pelanggaran yang lebih serius karena jika sifatnya pemaksaan bakal menyalahi salah satu maqashid syariat yakni hak pemeliharaan keturunan.
Pada akhirnya, usulan Dedi Mulyadi adalah fenomena yang membuat negara ini susah maju, saat kebijakan-kebijakan dibuat serampangan hanya berdasarkan asumsi di kepala pejabat tanpa benar-benar menghitung data dan fakta di lapangan.
(*)