Ketika Islam Dibatasi Oleh Peta
Kata teman saya, “Islam yang nusantara saja. Ulama yang nusantara juga. Jangan yang Arab-Arab.” Saya diam. Bukan karena setuju. Tapi karena saya tahu: dia belum tahu. Belum tahu apa itu Islam. Belum tahu siapa itu ulama. Ia hanya sedang mengutip tren, bukan memahami ajaran.
Ia sok cinta produk lokal. Tapi tak tahu, bahwa Islam tak bisa dijadikan label “produk.” Ia lahir bukan dari tanah, tapi dari langit. Ia datang bukan untuk satu suku, tapi untuk manusia seluruhnya. Membatasi Islam hanya pada wilayah tertentu, itu seperti meminta matahari hanya menyinari halaman rumah sendiri.
Dan tentang ulama, ia ingin yang “nusantara.” Baik. Tapi ia lupa, bahwa para ulama nusantara itu tumbuh dari akar keilmuan Arab. Mereka nyantri ke Haramain. Mereka hafal kitab kuning, bukan koran lokal. Mereka bersujud di Tanah Air, tapi ilmunya bersambung sampai ke Madinah.
Mereka bukan nasionalis picisan. Mereka tahu mencintai tanah air adalah bagian dari iman—bukan pengganti iman.
Islam tidak berwarga negara. Ia tidak memerlukan paspor. Maka ketika ada yang bilang, “Jangan Islam Arab,” sebenarnya ia sedang berkata, “Saya ingin agama yang sesuai selera saya, bukan yang sesuai wahyu.” Dan itu bukan Islam, tapi ego yang dibungkus kain batik.
Saya diam. Bukan karena takut. Tapi karena tidak semua kesesatan perlu segera disanggah. Sebab ada orang yang bukan sedang berdiskusi, tapi sedang memamerkan kebingungan dengan percaya diri.
Dan saya belajar satu hal: kadang, yang membela Islam Nusantara justru tak paham Islam, tak kenal Nusantara, dan lupa bahwa kebenaran tak perlu dibatasi oleh peta.
(Baqir Surahman)