Indonesia cannot claim solidarity with Palestine while partnering with BlackRock
Indonesia tidak bisa mengklaim solidaritas dengan Palestina jika bekerjasama dengan BlackRock
Laporan terkini mengonfirmasi bahwa dana kekayaan negara Indonesia, Danantara, tengah merayu kerja sama dengan BlackRock, pengelola aset terbesar di dunia, dalam apa yang digambarkan sebagai kemitraan strategis untuk memperkuat infrastruktur, transisi energi, dan pertumbuhan ekonomi. Kunjungan CEO Danantara Rosan Roeslani ke kantor pusat BlackRock di New York telah dipuji oleh sebagian pihak sebagai terobosan bagi aspirasi ekonomi Indonesia.
Namun, mari kita perjelas: tidak ada jumlah pengembalian investasi yang dapat membersihkan keuntungan yang berlumuran darah.
BlackRock bukan sekadar lembaga keuangan multinasional lainnya. BlackRock adalah investor langsung dalam mesin perang—memegang saham signifikan di Lockheed Martin, Northrop Grumman, dan RTX, yang semuanya merupakan pusat operasi militer Israel di Gaza. Jet tempur F-35 milik Lockheed Martin, peluncur rudal milik Northrop, dan Iron Dome milik RTX semuanya memainkan peran penting dalam serangan gencar yang telah merenggut puluhan ribu nyawa warga sipil di Palestina, termasuk wanita, anak-anak, dan jurnalis.
Hingga tahun 2025, BlackRock memiliki 7,4 persen saham di Lockheed Martin—yang CEO-nya baru-baru ini membanggakan bahwa perang di Ukraina dan Gaza merupakan pendorong pendapatan utama. Ini bukanlah investasi pasif. Ini adalah posisi politik yang disamarkan sebagai strategi portofolio.
Bagi Indonesia—negara yang prinsip-prinsip pendiriannya secara eksplisit menolak kolonialisme “dalam segala bentuknya”—kemitraan dengan BlackRock adalah pengkhianatan. Ini adalah pengkhianatan terhadap UUD 1945, pengkhianatan terhadap warisan diplomatik kita di bawah Sukarno dan Hatta, dan yang terpenting, pengkhianatan terhadap hati nurani rakyat kita.
Argumen yang dikemukakan oleh para pendukung kemitraan ini dapat diprediksi: investasi diperlukan, pembangunan mendesak, dan BlackRock menawarkan keahlian finansial yang tak tertandingi. Para legislator, seperti Muhammad Kholid dari Partai Keadilan Sejahtera, bersikap hati-hati, mengakui perlunya modal asing sambil mendesak "penyelarasan nilai." Namun, lindung nilai seperti itu sama saja dengan penghindaran moral. Pertanyaannya bukanlah apakah BlackRock dapat membantu menumbuhkan ekonomi Indonesia. Pertanyaannya adalah: berapa biayanya?
Biayanya, dalam kasus ini, adalah keterlibatan. Keterlibatan dalam perang yang kini diakui sebagian besar dunia sebagai perang genosida. Sementara kampus-kampus di seluruh Amerika meletus dalam protes dan pemerintah Eropa menilai kembali hubungan dengan entitas yang terkait dengan Israel, Indonesia justru menggoda para pemodal pendudukan.
Seseorang tidak dapat memisahkan modal dari hati nurani. Portofolio BlackRock berbicara lebih keras daripada hubungan masyarakatnya. Investasinya secara langsung memberdayakan rezim yang telah mengubah Gaza menjadi kuburan. Tidak masalah apakah dana BlackRock dialokasikan untuk infrastruktur digital atau energi terbarukan. Uang dapat dipertukarkan, dan kemitraan melegitimasi. Dengan berjabat tangan dengan BlackRock, Indonesia memberikan perlindungan moral kepada investor yang tangannya sudah ternoda.
Para pembela kesepakatan itu mungkin berpendapat bahwa geopolitik membutuhkan pragmatisme. Namun, pragmatisme tidak seharusnya berarti kelumpuhan moral. Pembangunan nasional kita dapat diupayakan tanpa mengorbankan nilai-nilai yang mendefinisikan kita. Dana kekayaan negara Qatar telah mengisyaratkan kesediaan untuk bersama-sama berinvestasi sebesar $4 miliar dengan Danantara. Mengapa tidak mempererat hubungan dengan mitra yang etis, daripada mengundang perusahaan yang membiayai bom yang menghujani Gaza ke negara kita?
Yang lebih penting, kesepakatan semacam itu mengolok-olok suara global Indonesia. Presiden Prabowo Subianto telah berbicara menentang kekejaman di Gaza. Namun, kata-kata itu tidak ada artinya jika, dalam waktu yang bersamaan, Indonesia beralih ke pemodal kekejaman itu sendiri untuk keselamatan ekonomi. Kebijakan luar negeri dan kebijakan keuangan tidak dapat beroperasi pada jalur moral yang terpisah.
Sebagian orang mungkin mengatakan Indonesia terlalu kecil untuk menantang raksasa keuangan dunia. Namun, sejarah mengatakan sebaliknya. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan pendukung lama penentuan nasib sendiri Palestina, Indonesia memiliki modal moral yang hanya dimiliki oleh sedikit negara. Menyia-nyiakannya sekarang, demi suntikan modal jangka pendek, akan menjadi kesalahan besar.
Ini bukan tentang anti-Amerikanisme atau isolasionisme ekonomi. Ini tentang koherensi. Ini tentang menolak untuk berpaling sementara Gaza terbakar, hanya karena ada peluang menguntungkan yang mengetuk pintu.
Para pemimpin Danantara harus memutuskan: Apakah mereka ingin Indonesia dikenang sebagai negara yang menjual hati nuraninya demi modal? Atau sebagai negara yang berdiri teguh, bahkan ketika kompromi tampak menguntungkan?
Jawabannya seharusnya jelas bagi siapa pun yang percaya pada cita-cita yang terukir dalam Konstitusi kita dan bergema di masjid-masjid kita, jalan-jalan kita, dan platform kebijakan luar negeri kita.
Indonesia harus meninggalkan BlackRock. Bukan karena itu mudah. Tetapi karena itu benar.