GANTI WAKIL PRESIDEN

Meraba Determinasi Politik Soal Usulan Ganti Wapres Gibran Oleh Purnawirawan TNI Kepada MPR

By Nur Lapong

Wacana Ganti Wakil Presiden kembali ramai baru baru ini oleh desakan ratusan para Pati dan Pamen Purnawirawan termasuk puluhan yang masih dinas agar MPR menjalankan fungsi konstitusional-nya untuk Mengganti Wapres Gibran Rakabuming Raka.

Sebenarnya usulan ini tak lain adalah cerminan mayoritas suara rakyat Indonesia yang juga senada dan sudah lama berkembang di tengah masyarakat dengan tuntutan, "Wapres Fufufafa Turun!".

Setidaknya ada 3 alasan krusial dan mendasar yang melandasi sikap kekecewaan dan kesangsian publik kepada Wapres Gibran Rakabuming Raka, yakni sebagai berikut :

1. Soal Kapasitas Intelektual yang sangat minim, dapat terbaca dari narasi "asam sulfat."

2. Soal legalitas konstitusional, karena beraroma manipulatif hasil KKN Jokowi sebagai Presiden yang memaksakan anaknya lewat Uji Materi di MK melalui "usaha kuasa" Anwar Usman sebagai Ketua MK, sebagai Ipar Jokowi telah merubah pasal UU Pemilu melalui Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yang pada intinya menyatakan _"berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."_

3. Soal Moralitas, dan ambiguitas disatu sisi sebagai Wapres Presiden Prabowo Subianto, dan disisi yang berbeda diduga adalah penghujat tak bermoral dari Presiden Prabowo Subianto dimasa sebelumnya melalui Akun "FufuFafa."

Sebenarnya kalau dicermati secara kasat mata dalam perkembangan politik kita akhir akhir ini, berkembangnya tuntutan ke arah "wacana Ganti Wapres", kalau dirunut secara teliti semua muaranya kembali kepada Jokowi sebagai Presiden di era periode ke 2 yang saat itu mewacanakan berkuasa menjadi 3 Periode, cuma wacana ini kemudian di gagalkan oleh PDIP sendiri sebagai partai pendukung utama Presiden Jokowidodo.

Sejak tertutup peluang itu kemudian adrenalin Jokowi meningkat, apalagi sebagai Presiden terlibat menjadi serius kedalam "cawe cawe politiknnya" yang kemudian berkembang ditengah masyarakat menjadi tagline critical mass kepada ambisi "Dinasty politik Jokowi." Hal ini kemudian berkembang serius sampai kedalam pemilu dan kontestasi politik Copras Capres. Pembelahan politik yang panas pun di tengah masyarakat tak dapat di hindari, apalagi dinilai manipulatif dalam proses pelaksanaannya dan disertai pula intrik hukum berupa intimidasi - kriminalisasi kepada lawan politik Jokowi.

Sejak itulah dendam politik di tengah masyarakat menjadi jadi apalagi setelah Jokowi lengser dari Presiden. Publik ramai ramai kepada tuntutan untuk mengadili Jokowi atas berbagai tindakan KKN yang dilakukannya di masa Jokowi menjadi Presiden, termasuk soal cawe cawe politiknya dalam meloloskan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wapres mendampingi Prabowo Subianto sebagai Capres.

Paketan wacana yang menjadi bahasan sehari hari sebagai issue publik di media sosial, tak bergeser dari "Mengadili Jokowi" dan issue "Wapres Fufufafa Turun." Mengadili Jokowi melalui issue ijazah palsu, soal KKN di PIK 2 dan sejumlah PSN yang bermasalah di seluruh Indonesia, menjadi makanan berita sehari hari dalam ruang publik kita, yang membuat Jokowi panik dan ternaknya kalang kabut.

Namun perlu kita ketahui apa yang menjadi harapan publik terhadap paket issue di atas, diperhadapkan pada kenyataan seperti apa yang disampaikan Mahfud MD, yakni "soal dipertanyakannya netralitas aparat polisi, jaksa dan hakim yang akan mengadili, pasalnya menurut Mahfud mekanisme pengadilan belakangan ini dinilai sudah busuk.

Belum lagi issue yang menjadi wacana publik tersebut diperhadapkan pada kenyataan bahwa politik kekuasaan di bawah pimpinan Prabowo masih disangsikan, dan dinilai sebagai perpanjangan tangan dari Presiden Jokowi sebelumnya. Tereakan Hidup Jokowi oleh Prabowo dalam acara Partai Gerindra, juga semakin mempertegas sesungguhnya, bahwa ini adalah sinyal kepada institusi kekuasaan Negara, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk mengamankan Jokowi dari tuntutan Mengadili KKN Jokowi termasuk Soal Usulan menggangti Wapres Gibran dari berbagai tuntutan elemen masyarakat umumnya dan khususnya para aktivis kaum oposisi, termasuk usulan para purnawirawan TNI baru baru ini.

Alot, rumit atau tak mungkin! Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi terhadap paketan tuntutan masyarakat di atas, untuk mengadili Jokowi dan ganti Wapres Gibran.

Hubungan paketan dalam issue publik tersebut yang menjadi 2 wacana itu, tentu saling terkait dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Karena bapak dan anak adalah bagian cerita penting dan utama dalam issue Ambisi "Dinasti Politik Jokowi", ini adalah satu benggol dengan dua sisi mata uang.

Sehingga ada pikiran para Purnawirawan TNI bahwa, "tak mungkin mengadili Bapaknya sebelum anaknya turun." Usulan menggangti Wapres Gibran adalah sinyal langsung para Purnawirawan TNI kepada teman sejawatnya yang sekarang menjadi Presiden, untuk membantu Prabowo Subianto agar tidak terbebani secara politik dalam mengemban amanah yang dipikulnya oleh beban "bapak anak" tersebut.

Kedua hal yang dipikirkan tersebut dapat terjadi sekalipun itu saling mempengaruhi dan tak mungkin dipisahkan satu sama lainnya, jika sinyal yang diberikan itu dapat merubah haluan politik Prabowo Subianto dengan serta merta dari Jokowidodo ke Megawati Soekarnoputri, ditambah pressing massa aksi masyarakat yang sudah lama merindukan keadilan, bukan oleh kepalsuan dan kebohongan yang semakin Menggerogoti kehidupan peradaban bangsa kita.

Dengan kata lain Determinasi politik terhadap issue issue dari wacana di atas, dapat menemukan jalannya, jika dialektika publik masyarakat disambut dan direspon oleh elit politik kekuasaan yang otoritatif dan otentik khusunya dari Presiden Prabowo Subianto sendiri supaya Indonesian paradoks benar benar tidak menjadi paradoks!

(*)
Baca juga :