13 Santri Ponpes Ora Aji Jadi Tersangka Kasus Penganiayaan, Gus Miftah Minta Maaf, INI KRONOLOGINYA versi Korban dan versi Ponpes

[PORTAL-ISLAM.ID]  SLEMAN - Sebanyak 13 santri Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji di bawah pimpinan Gus Miftah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap seorang santri lainnya. Aksi kekerasan ini diduga karena kasus pencurian. 

Sebanyak 13 santri itu dilaporkan ke Polsek Kalasan oleh korban yang juga santri di pondok pesantren tersebut lantaran upaya untuk menyelesaikan secara kekeluargaan tidak berhasil. 

Namun karena Polsek Kalasan tidak memiliki unit PPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak), maka kasus ini kemudian ditarik ke Polresta Sleman.

Kapolresta Sleman Kombes Pol Edy Setyanto Erning Wibowo membenarkan telah menerima laporan dan telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka. 

"Sudah, tersangka 13 orang," katanya, dikutip dari tayangan Top News, Metro TV, Sabtu, 31 Mei 2025. 

Dari 13 tersangka, empat orang masih di bawah umur. Mereka tidak ditahan karena dinilai koperatif.

Kronologi versi Korban

Dugaan penganiayaan di Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji, Kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta ternyata terjadi pada Februari 2025.

Melalui kuasa hukumnya, KDR (korban/23) mengungkapkan kekerasan fisik yang ia alami pada 15 Februari 2025 lalu.

KDR merupakan santri asal Kalimantan Selatan (Kalsel) yang baru 8 bulan mondok di Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji yang dimiliki Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah.

Dikutip dari Kompas.id, M Iqbal, salah satu penasihat hukum korban, menjelaskan bahwa kasus itu bermula dari tuduhan terhadap KDR menggunakan dana penjualan air galon sebesar total Rp 700.000.

Di bawah kekerasan, antara lain pakai selang dan aki, KDR dipaksa mengakui perbuatannya.

Akibat kejadian itu, korban mengalami sejumlah luka di tangan dan wajah.

Penganiayaan itu berlangsung di salah satu ruangan di ponpes. Menurut Heru Lestarianto, ketua tim penasihat hukum korban, KDR disekap dan diikat, kemudian dianiaya oleh para terduga pelaku.

Kondisinya sekarang, kata Heru, KDR masih terguncang kejiwaannya.

Setelah kejadian itu, Heru menyebut, adik korban mendatangi ponpes dan membayar uang yang dipermasalahkan tersebut.

”Adiknya bilang, ’Kalau memang kakak saya mencuri, ini saya kembalikan’,” ujar Heru.

Setelah penganiayaan itu, Heru menyebut, KDR pernah dibawa ke rumah sakit di Surakarta, Jawa Tengah, untuk menjalani perawatan dan karena merasa tidak aman di Yogyakarta. 

Namun, karena kondisinya tak kunjung sembuh, dia dibawa pulang orangtuanya ke kota asalnya di Tabalong, Kalsel.

”Kondisi sekarang, korban masih terguncang kejiwaannya. Fisik sudah mulai pulih, tetapi kalau mulutnya terbuka, masih terasa (sakit) sampai telinga,” ucapnya.

Kronologi versi Ponpes
Kuasa Hukum Yayasan Pondok Pesantren (Ponpes) Ora Aji, Adi Susanto, dalam konferensi pers, Sabtu (31/5/2025) menjelaskan bahwa peristiwa itu bermula dari aksi vandalisme.

Ponpes asuhan Miftah Maulana Habiburrahman ini sebetulnya sudah mencoba memediasi santri-santi tersebut, namun tidak menemukan titik temu sehingga terjadi pelaporan ke polisi.

Adi Susanto menyampaikan, kejadian penganiayaan bermula dari aksi vandalisme dan pencurian di kamar-kamar santri di Ponpes Ora Aji, Sleman, Yogyakarta.

Rentetan peristiwa pencurian tersebut tidak pernah diketahui siapa pelakunya.

Hingga akhirnya pada 15 Februari 2025, terkuak bahwa seorang santri berinisial KDR yang melakukan hal tersebut.

Pengakuan KDR diawali saat ketahuan menjual air galon yang merupakan usaha pondok pesantren Ora Aji.

Santri lainnya kemudian bertanya siapa yang menyuruh KDR menjual air galon, sebab menjual air galon bukan tugas dan tanggung jawabnya.

"(KDR) mengakui bahwa memang dia sudah melakukan penjualan galon tanpa sepengetahuan pengurus itu selama kurang lebih 6 hari, ya sudah sekitar seminggu sudah melakukan itu. Nah, atas kejadian itu santri kan langsung tersebar nih peristiwanya tersebar," ucap Adi Susanto.

Setelah itu, ditanyakan pula terkait dengan rentetan peristiwa pencurian yang terjadi di kamar santri.

"Nah, sampai akhirnya ditanyakanlah ya secara persuasif, tidak ada pemaksaan. Apakah peristiwa yang selama ini terjadi di pondok juga dilakukan oleh dia?" tuturnya.

"Nah, yang bersangkutan mengakui bahwa dialah yang melakukan pencurian selama ini. Ada di santri yang bernama si A sekian Rp 700.000, santri yang bernama si B, Rp 50.000 dan segala macam," imbuhnya.

Mendengar pengakuan itu, kemudian muncul reaksi spontanitas dari sejumlah santri. Namun, Adi Susanto menyebut aksi spontanitas tersebut bukan tindakan penganiayaan.

"Bahwa yang perlu kita tekankan, atas nama yayasan menyanggah soal adanya penganiayaan itu. Apa yang terjadi di pondok adalah aksi spontanitas saja dari santri, yang tidak ada koordinasi apapun," ungkapnya.

Usai peristiwa tersebut, KDR diketahui dijemput oleh kakaknya.

Kemudian KDR meninggalkan pondok tanpa berpamitan.

"Nah, entah siapa yang memulainya, tiba-tiba (KDR) keluar dari pondok tanpa pamit dan segala macamnya lah ya ke yayasan dan tiba-tiba muncul lah yang namanya laporan Kepolisian di Polsek Kalasan pada saat itu," ujar Adi.

Sempat Mediasi, tapi Gagal

Dikatakan Adi, yayasan kemudian berusaha menjadi mediator untuk memfasilitasi terjadinya perdamaian dalam persoalan tersebut.

Namun, di dalam mediasi tersebut tidak ada titik temu.

"Nah, yang membuat mediasi itu menjadi gagal pada akhirnya itu dikarenakan permintaan kompensasi atau tuntutan kompensasi dari keluarga saudara (KDR) ini yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh santri, yang notabene ini (santri) orang-orang yang tidak punya, yang notabene datang ke sini dalam keadaan gratis," ucapnya.

Dari yayasan, lanjut Adi Susanto, kemudian menengahi dengan menawarkan membantu biaya pengobatan untuk KDR.

"Kami dari yayasan menawarkan angkanya Rp 20 juta. Tapi sekali lagi itu tidak pernah bisa diterima sampai akhirnya upaya mediasi berulang kali itu menjadi gagal," tuturnya.

Adi menyampaikan saat ini dirinya juga menjadi kuasa hukum 13 orang santri terkait laporan dugaan penganiayaan.

"Maka selain sebagai kuasa hukum yayasan, saya, kami juga menjadi kuasa hukum daripada seluruh santri yang dilaporkan tadi itu," katanya.

Gus Miftah Minta Maaf

Miftah Maulana Habiburrahman, pengasuh pondok pesantren tersebut, menyampaikan permintaan maaf melalui kuasa hukumnya, Adi Susanto.

"Ya pertama tadi sudah disampaikan sama ketua yayasan, musibah ini adalah pukulan bagi kami terutama atas nama pondok pesantren. Ini adalah pukulan sehingga atas nama ketua yayasan, beliau (Miftah) sudah menyampaikan permohonan maafnya tadi," ujar Adi Susanto pada Sabtu (31/05/2025).

Peristiwa dugaan penganiayaan terjadi saat Miftah Maulana Habiburrahman sedang melaksanakan ibadah umrah dan tidak berada di lokasi.

[VIDEO]
Baca juga :