Beberapa waktu terakhir, kehadiran Dr. Zakir Naik kembali menghangatkan ruang-ruang diskusi publik. Bukan hanya karena ketajaman logikanya, tapi karena gaya dakwahnya yang khas tegas, apologetik, dan tanpa kompromi dalam menyampaikan kebenaran Islam.
Namun sayangnya, gaya seperti ini tidak diterima semua pihak. Salah satunya datang dari seorang tokoh publik yang dikenal sebagai Gus Nadir.
Dalam sebuah unggahan di akun facebooknya, beliau menuliskan:
“Nabi Muhammad mewariskan model dakwah yang tidak gegap gempita, tapi penuh kasih dan kebijaksanaan.”
Lalu dilanjutkan:
“Kini, model ini kerap tergantikan oleh suara yang lebih nyaring, tapi kurang teduh. Di ruang-ruang publik muncul gaya apologetik-konfrontatif: mencomot ayat dari kitab suci agama lain, menyandingkannya dengan Qur’an untuk membuktikan bahwa Islam ‘paling benar’.”
Ini postingan beliau:
Ungkapan ini, secara tidak langsung, menyudutkan metode dakwah seperti yang dilakukan oleh Dr. Zakir Naik. Tapi mari kita luruskan. Tulisan ini bukan semata membela Zakir Naik. Tapi membela jalur dakwah yang telah dilalui para nabi, para sahabat, dan para ulama besar Islam selama berabad-abad yakni jalur debat, klarifikasi, dan pembuktian kebenaran Islam lewat akal dan dalil.
🔴Teknik Debat: Menyerang dengan Sumber Lawan (Argumentum ad Hominem Ex Concessis)
Dalam dunia logika dan ilmu debat, teknik menyerang atau membongkar argumen lawan dengan menggunakan premis atau sumber yang mereka yakini sendiri dikenal sebagai argumentum ad hominem ex concessis atau juga disebut reductio ad concessum. Ini bukan serangan personal (seperti ad hominem), tapi justru teknik paling sahih dan kuat karena:
“Engkau mengalahkan seseorang dengan apa yang dia sendiri yakini sebagai kebenaran.”
Teknik ini bukan menyerang pribadi, tapi menunjukkan kontradiksi atau kekeliruan dari dalam logika atau kitab mereka sendiri.
Contohnya:
Jika seorang Kristen meyakini Alkitab sebagai wahyu, maka mengutip ayat dalam Alkitab yang membantah doktrin trinitas adalah bentuk debat dari dalam sistem keyakinan mereka sendiri.
Jika seorang ateis percaya logika dan sains, maka membantahnya dengan dasar sains yang konsisten adalah bentuk argumentum ex concessis.
Teknik ini digunakan oleh para Nabi, sahabat, dan para ulama besar sepanjang sejarah Islam.
🔴Kedua: Nabi Muhammad Mengutip Taurat
Dalam Shahih Bukhari, Nabi ﷺ dihadapkan pada perempuan Yahudi yang berzina. Nah untuk itu Rasulullah sebagai Hakim dan kepala Negara bertanya kepada orang orang Yahudi, “Di Agama Kalian orang yang berzina diapakan ?”
“Ah dikami cuman di coret coret mukanya kok.”
Disana orang Yahudi mengingkari kalau hukuman rajam bagi pezina bukan ajaran Taurat.
Maka dari itu Rasulullah meminta Yahudi untuk membacakan Taurat, lalu menunjukkan ayat hukuman rajam di dalamnya. Duarrrrr ! Maka terbungkamlah orang-orang Yahudi itu.
Itulah teknik debat ala Nabi, ad hominem ex concessis.
Cek disini untuk kutipan haditsnya
Dan Faktanya Memang ada Di Kitab Taurat, Ulangan 22:22-24
Apakah Gus Nadir akan mengatakan bahwa Nabi “mencomot ayat dari kitab suci agama lain”? Atau justru ini bukti bahwa menyampaikan kebenaran lewat kitab mereka adalah strategi dakwah Rasulullah sendiri?
🔴Ketiga: Nabi Mengkritik Akidah Sesat secara Terang-Terangan
Rasulullah ﷺ tidak hanya mengkritik, tapi menyanggah keras penyembahan berhala, doktrin trinitas, dan kemusyrikan. Beliau menyebutnya sebagai kebatilan, bahkan menantang secara terbuka kaum kafir Quraisy dengan kalimat-kalimat tauhid yang tajam.
Apa kita kira Nabi hanya duduk-duduk santai, “jaga gereja”, lalu bercengkerama penuh toleransi tanpa pernah menyanggah kebatilan? Itu ilusi, bukan siroh.
🔴Keempat: Para Sahabat dan Ulama Tabi’in Menggunakan Sumber Ahlul Kitab
Sahabat seperti Wahb bin Munabbih, dan tabi’in seperti Ka’ab al-Ahbar, menggunakan riwayat Taurat dan Injil untuk memperkaya tafsir dan memperjelas perbandingan dengan Islam.
Bahkan Ibn Ishaq (768 M/ 151 H) penulis sirah generasi awal, mencatat bahwa dalam Injil Yohanes berbahasa Suryani, tertulis istilah Paraclyta yang artinya yang terpuji. Ia menegaskan bahwa itu adalah terjemahan langsung dari Muhammad. Sayangnya, istilah ini dihapus atau diubah dalam versi-versi Injil setelahnya menjadi Parakletos, lalu dimaknai sebagai “Roh Kudus”.
Ini membuktikan bahwa para ulama sejak awal telah membaca kitab Ahlul Kitab dan menunjukkan nubuwat tentang Nabi Muhammad ﷺ dengan data dan penunjang dari kitab agama lain.
🔴Kelima: Para Ulama Menulis Buku untuk Membantah Akidah Agama Lain
Hari ini,
ada yang gemetar mendengar ayat Injil dikutip oleh seorang dai.
Katanya: “Itu bukan cara Nabi. Itu bukan Islam yang santun.”
Mereka ingin dakwah hanya berisi senyum,
tanpa debat, tanpa sanggahan,
tanpa membongkar kebatilan yang bercokol di depan mata.
Tapi siapa pun yang jujur membaca sejarah,
akan tahu: dakwah ini sejak awal adalah perjuangan hujjah dan kehormatan.
Para ulama kita dari timur hingga barat
menyisir Injil dan Taurat, untuk Tapi membongkar kebusukan yang dibungkus klaim wahyu.
Mereka membuka halaman demi halaman,
Menunjukkan ayat yang bertentangan,
Menunjukkan ucapan Yesus yang tak pernah mengaku Tuhan,
Menunjukkan bahwa salib bukan penyelamat,
Dan bahwa Trinitas hanyalah teka-teki yang tak pernah selesai dijelaskan.
mereka ingin menunjukkan bahwa kebenaran Islam bersinar dari segala arah.
📜 Ibn Qutaybah (w. 276 H / 889 M)
Dalam kitabnya al-Dīn wa al-Daulah fī Ithbāt Nubuwat an-Nabī ﷺ (Agama dan Negara dalam Membuktikan Kenabian Nabi Muhammad ﷺ) ia mengutip sumber sumber Yahudi untuk membenarkan kenabian Muhammad.
📜 Ali at-Ṭabarī (w. abad ke-3 H)
Dulu ia seorang dokter Kristen di lingkungan Abbasiyah.
Lalu ia masuk Islam. Kemudian menulis al-Radd ´alā l-Nasārā (Sanggahan terhadap Umat Kristen) dan Kitāb al-dīn wa-l-dawla (Kitab Agama dan Kekaisaran), yang keduanya diterbitkan oleh Brill pada tahun 2016 dalam satu buku, Karya-karya Polemik ʿAlī al-Ṭabarī .
📜 Abu ‘Īsā al-Warrāq (w. abad ke-3 H)
Seorang rasionalis mutakallim, penulis yang produktif,
Menulis al-Radd ‘ala al-Naṣārā.
Ia menyusun bantahan sistematis atas ajaran Kristen,
Dan mengkritik Injil dari sisi nalar dan isi.
Ia menulis untuk menunjukkan bahwa
agama yang diklaim suci itu penuh cela dan celah.
📜 Amr ibn Bahr al-Jāḥiẓ (w. 255 H)
Sastrawan dan teolog Mutazilah,
Menulis risalah khusus untuk Khalifah al-Mutawakkil:
Ia tidak hanya bicara soal Trinitas,
Tapi juga menelanjangi kontradiksi Injil,
Dengan gaya bahasa tajam dan penuh logika.
Ia tahu: Membiarkan kebatilan tanpa sanggahan adalah pengkhianatan ilmiah.
📜 Imam Al-Baqillani (w. 403 H)
Duta Islam yang dikirim ke istana Romawi Timur.
Dalam majelis Kaisar, ia tak hanya membawa Qur’an,
Ia membantah inkarnasi dan Trinitas.
Ia berkata:
“Bagaimana mungkin Tuhan tidur di buaian?
Bagaimana mungkin Tuhan disusui oleh makhluk-Nya?”
📜 Imam Al-Ghazali (w. 505 H)
Menulis Ar-Radd al-Jamīl li-Ilāhiyyat ‘Īsā,
Sebuah bantahan terhadap ketuhanan Isa,
berdasarkan Injil itu sendiri.
Ia tunjukkan:
Yesus tak pernah mengklaim keilahian.
Yang menyebutnya Tuhan… adalah Paulus dan gereja,
Bukan ia sendiri.
📜 Al-Samaw’al al-Maghribi (w. 570 H)
Seorang mantan rabi Yahudi,
Yang masuk Islam dan menulis Ifḥām al-Yahūd Membungkam Yahudi.
Ia tahu persis isi Taurat,
Karena ia pernah mengajarkannya.
Lalu ia tunjukkan, bahwa kitab itu telah ternoda tangan manusia.
📜 Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H)
Menulis kitab berjilid-jilid: Al-Jawāb al-Ṣaḥīḥ liman baddala Dīn al-Masīḥ.
Ia menyalin ayat Injil satu per satu, lalu membantahnya.
📜 Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H)
Tak ketinggalan dalam barisan ini.
Ia menulis kitab: Hidāyatul Ḥayārā fī Ajwibah al-Yahūd wan-Naṣārā,
(Petunjuk bagi yang Bimbang: Jawaban terhadap Yahudi dan Nasrani).
📜 Rahmatullah al-Hindi (w. 1308 H)
Ulama India yang berdiri tegar menghadapi misionaris Inggris.
Dalam Iẓhār al-Ḥaqq,
Ia mengutip Injil King James dan Douay,
Lalu menunjukkan kontradiksi demi kontradiksi.
Ia membantah, dengan dalil dan nalar,
Bukan dengan kebisingan,
Tapi dengan akal yang bersih dari rasa takut pada Barat.
Banyaklah intinya nggak bisa saya sebutkan satu persatu.
Jadi, wahai mereka yang sibuk menyerang gaya dakwah…
Ketahuilah:
Mengutip Injil bukan berarti mengagumi.
Itu adalah teknik dakwah,
Sebagaimana para ulama zaman dahulu lakukan,
Dengan kepala dingin dan pena tajam.
Jangan sempitkan ajaran Nabi,
Seolah beliau hanya duduk bersila dan bicara lembut,
Padahal beliau juga berkata tajam kepada kaum Musyrik,
Dan menyanggah Yahudi dengan kutipan dari Taurat mereka sendiri.
Jangan reduksi dakwah menjadi basa-basi penuh senyum.
Karena terkadang,
Kebenaran itu harus dibentangkan dengan hujjah,
Disandingkan langsung dengan batil,
Agar nampak terang perbedaannya seperti siang dan malam.
(NGOPIDIYYAH)