Rahmatul Husni:
Dari buaanyaknya komentar positif, nemu juga satu model begini. Komentar ini menyimpan beberapa kesalahan logika dan bias yang cukup serius, akan saya urai pelan-pelan (dengan nada irama Bayati)
"Ga perlu diterapkan apalagi diturunkan ke generasi berikutnya."
Kalimat ini sudah menunjukkan judgment sejak awal, seolah jumlah anak adalah aib yang tidak layak diwariskan. Padahal memiliki banyak anak bukanlah penyakit menular, melainkan pilihan sadar dalam membangun peradaban. Kalau seseorang punya lima anak dan mampu mendidiknya dengan baik, kenapa itu jadi masalah untuk orang lain?
"Harusnya sadar, udh tau anak banyak itu beban ekonomi yg berat…"
Pernyataan ini lahir dari worldview materialistik. Seolah-olah anak hanya dilihat sebagai liabilitas ekonomi, bukan amanah Ilahi atau potensi kebaikan. Kalau orientasinya cuma ekonomi, maka logikanya jangan punya anak sama sekali. Tapi tentu, kita hidup bukan sekadar untuk menekan angka pengeluaran, kan?
"Setelah berkeluarga bukannya KB, malah anak 5. Ampun."
Apa ini kritik rasional atau cuma ekspresi gagal paham? KB adalah hak, bukan kewajiban. Dan seseorang memilih tidak KB karena punya keyakinan, bukan karena tidak sadar diri. Memangnya kamu tahu kadar rezeki tiap rumah tangga? Rezeki tidak melulu dalam bentuk uang. Anak adalah bagian dari rezeki itu.
Kalimat ini juga problematik. Pertama, KB bukanlah standar moralitas. Kedua, seolah-olah orang yang punya banyak anak pasti tidak waras. Padahal justru, butuh kesadaran yang tinggi untuk memilih merawat lima amanah besar dan menjaganya satu per satu dengan integritas, bukan dengan gaya hidup hedon yang ogah repot dan doyan menghakimi.
"Klo udah tau ekonomi kita mampunya semana, ngapain pny banyak anak?"
Ini logika fatalis, bukan realistis. Banyak keluarga yang awalnya sederhana, tapi diberkahi karena anak-anaknya. Justru anaklah yang sering membuka pintu-pintu rezeki tak terduga. Kalimat ini senada dengan yang mengatakan: "Kalau miskin, jangan punya anak." Ini sangat classist, diskriminatif terhadap keluarga sederhana.
"Ngandelin hoki doang? Ya ellahhh…"
Ini bukan soal hoki, Mbak. Gagal paham ya Anda. Makanya, coba kuliah dong sampai S3 biar terasah otaknya!
(dengan irama Hijaz)
Ini soal iman, visi hidup, dan keberanian menjalani pilihan dengan penuh tanggung jawab. Ada banyak ibu dengan lima anak yang mendidik, membesarkan, dan mengantarkan anak-anaknya tumbuh jadi orang-orang tangguh. Bukan karena mereka mengandalkan "hoki", tapi karena mereka punya purpose.
Kalau ukuran keberhasilan hidup hanya punya uang dulu baru punya anak, maka banyak keluarga justru tidak akan pernah punya anak. Karena nyatanya, kemampuan ekonomi tidak selalu statis. Yang penting adalah kesungguhan, akhlak, kerja keras, dan keimanan.
Jadi, sebelum menghina pilihan hidup orang lain, pastikan kamu sudah cukup memahami dari mana mereka memulainya, dan dengan nilai apa mereka melangkah. Jangan bawa mentalitas netizen modern yang alergi terhadap tanggung jawab besar, lalu menyalahkan orang yang berani menanggungnya.
Dan oh ya, just in case Mbak mengira saya nekat punya lima anak karena mengandalkan "hoki" atau karena tak mampu berpikir rasional…
Salam kenal, Mbak.
Penghasilan saya bahkan mungkin lebih besar dari total biaya hidup Mbak selama beberapa bulan.
Tapi saya memang tak memilih hidup egois dan materialistis seperti itu.
Saya memilih hidup yang meaningful karena orangtua kami pun mengajarkan hidup dengan penuh kasih sayang. Penuh amanah, risiko, dan keberanian untuk membangun generasi. Kami tidak punya trust issue dengan pernikahan, ataupun merasa disia-siakan oleh orangtua.
Sejarah tidak mencatat bahwa orang-orang besar itu hanya yang terlahir hidup nyaman.
Tapi mereka yang berani memikul beban besar, dan melahirkan perubahan dari rumahnya sendiri.
Lagipula, siapa Anda? Bukan donatur, sok ngatur pula. (Dia yang mulai, ya Allah..)
(fb)