KAPAL KERUK AGUAN
Oleh: Rahmat Mulyana, Kapusat Studi Islamic Public Policy IAI Tazkia
PT Panca Abadi (PANI) awalnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang kemasan sebelum beralih ke makanan beku, melakukan IPO pada tahun 2018 dengan harga saham Rp 134 per lembar. Harga ini bertahan relatif stabil di kisaran tersebut sampai tahun 2020, mencerminkan nilai wajar perusahaan yang saat itu masih beroperasi di industri manufaktur dan pengolahan makanan, dengan kepemilikan publik sebesar 20% dari total saham.
Transformasi dramatis terjadi ketika PT MAP, anak perusahaan Agung Sedayu Group, mengakuisisi 80% saham pengendali PANI. Setelah mengubah fokus bisnis menjadi pengembangan properti PIK 2, ditambah dengan pemberian status PSN dan berbagai aksi korporasi seperti revaluasi aset dan pre-selling yang mengumpulkan uang muka konsumen hingga Rp 11 triliun, harga saham PANI melonjak drastis hingga mencapai Rp 4.400+ per lembar, merepresentasikan kenaikan fantastis sebesar 4.400% dari nilai awalnya. Kenaikan ini lebih banyak didorong oleh rekayasa finansial dan dukungan kebijakan pemerintah daripada penciptaan nilai bisnis riil
Fenomena pemagaran laut di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) menjadi potret dramatis bagaimana sebuah "ketiadaan" bisa ditransformasi menjadi mesin pencetak triliunan rupiah.
Di balik kontroversi pagar yang membentang di tengah laut tersebut, tersembunyi sebuah narasi yang lebih besar tentang bagaimana oligarki modern beroperasi melalui pasar modal untuk menciptakan kekayaan dari sesuatu yang nyaris tidak berwujud.
PIK 2 bukan sekadar proyek properti biasa, melainkan representasi sempurna dari model ekstraksi rente kontemporer yang mengandalkan rekayasa finansial canggih untuk menghasilkan keuntungan masif tanpa perlu investasi riil yang setara.
Kisah ini bermula dari sebuah perusahaan sederhana bernama Panca Abadi yang bergerak di bidang kemasan, yang kemudian bertransformasi menjadi produsen makanan beku sebelum akhirnya melakukan IPO pada 2018 dengan kode saham PANI. Dengan harga saham yang hanya berkisar Rp 134 per lembar, PANI tampak seperti perusahaan publik biasa tanpa potensi spektakuler.
Namun, situasi berubah dramatis ketika Agung Sedayu Group, melalui PT MAP, mengakuisisi 80% saham pengendali PANI pada tahun 2020. Langkah ini menjadi titik awal transformasi yang akan mengubah tidak hanya fokus bisnis perusahaan, tetapi juga cara pandang terhadap penciptaan nilai dalam pasar modal Indonesia.
Legitimasi proyek PIK 2 dibangun di atas dua pilar kebijakan pemerintah yang crucial. Pertama, pemberian status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memberikan kredibilitas dan privilese khusus bagi pengembangan kawasan.
Kedua, regulasi tentang tanah musnah yang membuka peluang untuk mengklaim dan memanfaatkan lahan yang sebelumnya dianggap hilang karena abrasi.
Kombinasi kedua kebijakan ini menciptakan landasan hukum yang kuat bagi Agung Sedayu Group untuk mengembangkan kawasan yang sebelumnya "tidak ada" menjadi properti bernilai tinggi. Pemagaran laut menjadi manifestasi fisik dari klaim ini, sekaligus berfungsi sebagai penanda batas teritorial untuk kepentingan audit dan pelaporan keuangan.
Mekanisme penciptaan nilai dalam kasus PIK 2 menunjukkan sophistikasi yang luar biasa dalam memanfaatkan instrumen pasar modal. Melalui serangkaian akuisisi internal, Agung Sedayu Group mengkonsolidasikan berbagai aset properti ke dalam PANI, yang kemudian direvaluasi dengan nilai yang jauh lebih tinggi.
Proses revaluasi ini didukung oleh status PSN dan diperkuat oleh strategi pre-selling yang agresif. "Jualan gambar" - praktik menjual properti yang belum dibangun - menjadi instrumen penting dalam skema ini.
Dengan memanfaatkan kepercayaan pasar yang ditimbulkan oleh status PSN, PIK2 berhasil mengumpulkan uang muka konsumen hingga Rp 11 triliun, yang kemudian menjadi validasi untuk valuasi yang lebih tinggi lagi.
Matematika di balik penciptaan kekayaan ini sungguh mencengangkan. Dengan modal awal sekitar Rp 2 triliun, PIK 2 berhasil menciptakan revaluasi aset senilai Rp 5,5 triliun. Namun yang lebih menakjubkan adalah bagaimana uang muka konsumen sebesar Rp 11 triliun berhasil dikumpulkan, yang menurut aturan properti hanya merepresentasikan 30% dari nilai total transaksi. Ini berarti nilai potensi penjualan keseluruhan bisa mencapai Rp 110 triliun. Harga saham PANI merespons dinamika ini dengan kenaikan spektakuler hingga 4.400%, dari Rp 134 menjadi lebih dari Rp 4.400 per lembar.
Multiplier effect yang tercipta dari kombinasi status PSN, revaluasi aset, dan akumulasi uang muka menciptakan spiral positif yang terus mendorong valuasi ke level yang lebih tinggi. Setiap kenaikan valuasi memperkuat kepercayaan pasar, yang pada gilirannya mendorong lebih banyak konsumen untuk memberikan uang muka, menciptakan siklus yang self-reinforcing. Ini adalah bentuk modern dari penciptaan nilai yang lebih mengandalkan persepsi dan ekspektasi daripada fundamentals ekonomi riil.
Namun, model bisnis semacam ini membawa implikasi dan risiko yang tidak kecil bagi sistem keuangan secara keseluruhan. Pertama, ada risiko gelembung properti yang bisa pecah jika ekspektasi pasar tidak terpenuhi. Kedua, exposure sistem perbankan melalui KPR dan pembiayaan konstruksi bisa menciptakan risiko sistemik. Ketiga, model bisnis yang sangat bergantung pada kebijakan pemerintah dan sentiment pasar ini memiliki fundamental yang rapuh terhadap perubahan kondisi makroekonomi.
PIK 2 juga menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang peran negara dalam menciptakan dan mendistribusikan kekayaan. Status PSN, yang seharusnya diberikan untuk proyek yang memberi manfaat publik yang luas, dalam kasus ini justru menjadi instrumen untuk mengakselerasi akumulasi kekayaan privat. Regulasi tanah musnah, yang bisa diargumentasikan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah administratif pertanahan, pada praktiknya menjadi alat legitimasi untuk mengkonversi "ketiadaan" menjadi aset bernilai tinggi.
Fenomena kapal keruk finansial yang didemonstrasikan oleh PIK 2 ini sebenarnya bukan hal baru dalam lanskap oligarki global. Dubai dan Qatar telah lebih dulu menunjukkan bagaimana properti prestisius bisa diciptakan dari padang pasir, dan bagaimana status khusus bisa mengakselerasi penciptaan nilai. Namun, pengalaman kedua negara tersebut juga mengingatkan akan kerapuhan model pembangunan semacam ini. Krisis finansial 2008 menunjukkan bagaimana proyek-proyek prestisius bisa collapse ketika fundamental ekonomi berubah.
Pembelajaran penting dari kasus PIK 2 adalah bagaimana oligarki modern telah berevolusi dari model ekstraksi rente tradisional yang mengandalkan monopoli sumber daya alam atau proteksi pasar, menjadi model yang lebih sophisticated yang memanfaatkan instrumen pasar modal dan rekayasa finansial. Kemampuan untuk mentransformasi "ketiadaan" menjadi aset bernilai triliunan rupiah melalui kombinasi kebijakan pemerintah, rekayasa korporasi, dan psikologi pasar menunjukkan evolusi kapitalisme kontemporer yang semakin menjauh dari penciptaan nilai berbasis produksi riil.
Fenomena ini juga menunjukkan urgensi untuk mereformasi sistem regulasi pasar modal dan properti agar bisa mencegah ekstraksi rente yang eksesif sambil tetap mempertahankan fungsi pasar modal sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Tanpa reformasi semacam ini, kita mungkin akan terus menyaksikan munculnya kapal-kapal keruk finansial baru yang semakin sophisticated dalam mengekstrak kekayaan dari ekonomi nasional. (*)