Oleh: Faisal Lohy
Operasi pembunuhan Ismail Haniyeh dilakukan bersamaan dengan operasi pembunuhan tangan kanan sekjen Hizbullah, Foad Syukur di Beirut, Lebanon.
Suksesnya operasi Israel membunuh keduanya, memang berhasil mewujudkan tujuan jangka pendek Israel. Namun dalam jangka panjang, Israel akan membayar harga yang jauh lebih mahal.
Dalam jangka pendek, kematian Haniyeh dan Foad, secara spontan mampu meredam kondisi frustasi Israel yg saat ini dipukul habis-habisan front perlawanan Hamas dan Hizbullah dari boarder Lebanon. Terutama terkait serangan di Dataran Tinggi Golan dua hari lalu yg menewaskan 12 orang Isarel dan melukai puluhan lainnya.
Dalam negeri Israel menyambutnya dengan desakan terhadap Netanyahu dan seruan perang terbuka terhadap Hizbullah. Termasuk desakan pelengseran Netanyahu secepatnya jika gagal menghadapi faksi perlawanan dari perbatasan Lebanon.
Suksesnya Israel membunuh Haniyeh dan Foad, memberi efek detterent yg berhasil melunakan sementara waktu upaya boarder conflict Hamas dan Hizbullah terhadap Israel dari perbatasan Lebanon.
Tujuan jangka pendek paling penting lainnya adalah, kematian Haniyeh sukses mengganggu jalannya deklarasi perdamaian dan penyatuan Seluruh Faksi Palestina, terutama kesepakatan rekonsiliasi Hamas dan Fatah yg dimediasi Cina di Beijing beberapa waktu lalu.
Kesepkatan penyatuan seluruh faksi, terutama Fatah dan Hamas yg dimediasi China, jika sukses terlaksana, tentu saja sangat merugikan Israel, Amerika dan sekutu.
Isi kesepakatan tersebut bermuara pada pembentukan pemerintahan rekonsiliasi dan persatuan seluruh elemen dalam negeri Palestina dalam rangka melawan dan mengakhiri agresi Zionis. Bagian penting lainnya, akan dibentuk pemerintahan Rekonsiliasi Palestina yg diprioritaskan untuk menyatukan wilayah Gaza dan West Bank di bawah satu kendali pemerintahan untuk memerintah Palestina pasca perang yg terlepas sepenuhnya dari kendali Israel dan sekutu.
Tentu saja, sebagai dua faksi terkemuka, Fatah dan Hamas yg akan paling dominan dalam menentukan kebijakan rekonstruksi Palestina. Cita-cita Hamas dan Fatah adalah mendirikan negara Palestina merdeka serta melenyapkan aneksasi Israel dalam bentuk apapun.
Sebagaimana yg terlihat dalam kesepakatan yg dibuat di Beijing. Cina berani memfasilitasi proses rekonsiliasi. Artinya, China juga bersedia menjadi pemasok utama kekuatan bagi Hamas dan Fatah untuk menggusur Israel dari Palestina.
Secara historis, dukungan China terhadap perjuangan Palestina sudah ada sejak era pemimpin Partai Komunis China, Mao Zedong yg mengirim senjata ke Palestina untuk mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "pembebasan nasional" di seluruh dunia.
Mao bahkan membandingkan Israel dengan Taiwan, bahwa keduanya didukung oleh AS sebagai basis imperialisme Barat. Kini, dalam pernyataan terbaru pemerintah China dan Presiden Xi Jinping telah menekankan perlunya negara Palestina yg merdeka.
Jika hal ini benar-benar terjadi, maka tujuan terbesar Israel melenyapkan Hamas atas kendali pemerintahan di Gaza akan lenyap. Tidak ada pilihan lain, selain menargetkan pembunuhan terhadap petinggi Hamas, termasuk Haniyeh dalam rangka untuk mengehentikan upaya rekonsiliasi yg dimediasi Cina tersebut.
Di sisi lain, jika China berhasil memediasi persatuan Hamas dan Fatah untuk mendirikan pemerintahan rekonsiliasi nasional Palestina dan berhasil membawa Palestina sebagai negara merdeka dan diakui bangsa-banga dunia, maka dunia akan melihat Cina dengan citra pembawa perdamaian dunia. Terutama di Palestina, Cina akan dilihat sebagai pahlawan, sementara Israel, Amerika dan sekutu akan tetap dipandang sebagai pembunuh, pelaku genosida, penyemai perang, perusak perdamaian dunia.
Dengannya, Cina akan tampil sebagai kekuatan penyeimbang yg menggilas pengaruh Amerika dibalik Israel dalam kancah politik internasional. China akan tampil sebagai negara yang lebih baik bagi dunia daripada Amerika.
Israel berharap, dengan terbunuhnya, Haniyeh dapat menjadi ancaman serius bagi seluruh faksi untuk menghentikan perlawanan terhadap Israel.
Sungguh harapan prematur. Israel seolah tidak belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sama halnya kematian-kematian pemimpin Hamas terdahulu, terbunuhnya Haniyeh sama sekali tidak berdampak signifikan terhadap perlawan Hamas.
Hamas didirikan Ahmad Yasin sebagai sebuah sistem perlawanan dimana ritme perjuangannya yg sama sekali tidak bergantung terhadap sosok, figure atau perorangan. Pimpinan Hamas, termasuk Ahmad Yasin, sudah banyak terbunuh tapi kekuatan Hamas tidak pernah melunak. Malah makin ganas.
Benar saja, petinggi Hamas, Al Arouri menyambut kematian Haniyeh dengan lantang: pemimpin politik Hamas setelah Haniyeh tetap memberlakukan visi perlawanan terhadap Zionis tanpa kompromi. Hamas akan segera membalikan perlawanan dengan eskalasi yg lebih mematikan dibandingkan 7 oktober lalu.
Boleh dikatakan, kematian Haniyeh adalah bentuk kebodohan yg akan berujung kerugian jauh lebih besar bagi Israel. Kondisi geopolitik memasuki babak baru yg panjang dan makin meluas. Kematian Haniyah sekaligus menutup semua proses perdamaian dan gencatan senjata. Membawa kawasan regional ke halaman baru eskalasi konflik yg tak terkendali.
Perlawanan hebat bukan cuma datang dari Hamas, melainkan juga Hizbullah, Iran, Houthy, Suriah dan beberapa kelompok perlawanan dunia bertekad meningkatlan eskalsi perang terhadap Israel. Terutama Iran. Bahwa kematian Haniyeh, sangat menampar wajah sistem kemanan Iran untuk terlibat lebih jauh dalam konfrontasi dengan Israel lewat seluruhnya froxy-nya.
Artinya, Israel harus siap mengahadapi serangan tak terduga dari berbagai arah. Dalam jangka panjang, Israel harus siap membayar kerugian yg jauh lebih besar dibanding kerugian perang selama 9 bulan terakhir di Gaza. Bukan cuma soal tanggungan biaya perang yg meningkat besar, juga kerugian diplomasi, Geopolitik, politik, ekonomi, tekanan internasional.
(*)