Oleh: Anton Ismunanto
Semalam gempa terjadi ketika pawai takbiran berlangsung di banyak tempat. Saya menganggapnya ini bagian dari pengingat. Orang memaknainya lain juga tidak mengapa. Begitulah semesta sebagai tanda. Orang menilai berdasarkan cara pandangnya.
Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, harus dikatakan bahwa takbiran kita semakin tidak baik-baik saja. Jadi ibarat pesta. Bukan lagi kekhidmatan yang berasal dari peribadatan. Dengan lisan Tuhan di-akbarkan. Tapi dalam laku Ia dikerdilkan. Kebanyakan yang terlibat dalam festival, adalah mereka yang kurang peduli pada shalat. Shalat sebagai salah satu cara mengangungkan Tuhan. Tentu saja ada yang shalih. Tapi harus fair untuk bilang bahwa lebih banyak yang thalih.
Belum lagi biaya takbiran yang semakin besar. Melampaui anggaran puluhan juta. Tidak jarang itu diambilkan dari dana infaq yang masuk ke masjid. Lalu latihannya yang tidak tahu waktu, di hari-hari mulia jelang lebaran. Baik fitri maupun adha. Sedangkan ketika pelaksanaan, sampai meninggalkan shalat karena riasan. Lalu kemacetan yang semakin rumit dan keramaian hingga tengah malam.
Apa yang sebetulnya kita cari...? Perkara begini terus berulang dan tak menemukan solusi. Tiada sekata dan belum sehati. Perkara ini saja kita belum mampu menangani. Apalagi di persoalan yang lebih besar lagi.
*NB: doa keselamatan dan kebaikan untuk semua saudara kita yang ditimpa kerugian dan kemalangan akibat gempa ini.
(fb)